Ini pertemuan kesekian kali dengan Mas Ramanda (nama samaran) meski hanya dalam jaringan. Sebagaimana biasa Mas Ramanda datang dengan sebuah kegelisahan yang menggaggu tetapi tidak sampai menyita waktu tidur apalagi berakibat mimpi buruk. Kegelisahan yang selalu menjadi bahan obrolan antara kami bedua. Kegelisahan itu kini hadir dengan kata kunci oknum.
Bagi Mas Ramanda, oknum adalah istilah yang menjengkelkan karena seperti ada upaya lepas tanggung jawab terhadap kesalahan yang sesungguhnya benar-benar ada. Paling tidak ada upaya memperhalus perbuatan kotor yang sesungguhnya kasar dan brutal. Contohnya adalah oknum ustadz yang mencabuli belasan santrinya. Bejatnya kelakuan dan buruknya dampak yang diakibatkan bagi masa depan para korban seumur hidupnya seperti hilang ditelan kata ‘oknum’. Dalam hal ini, Mas Ramanda tidak hanya gelisah, tetapi sudah geram dengan gigi gemeretak.
Di satu sisi Mas Ramanda maklum bahwa istilah ‘oknum’ memang adalah semacam upaya untuk melokalisasi masalah hanya pada individu yang melakukan perbuatan buruk tanpa harus menciderai institusi atau ideologi yang di mana individu tersebut termasuk di dalamnya. Namun, Mas Ramanda kepikiran bahwa sepertinya itu tidak menyelesaikan masalah. ‘Ustadz’ sebagai institusi tidak elok begitu saja lepas tangan dari keburukan ‘oknum’ bejatnya. Institusi ustadz harus ikut bertanggung jawab dan lalu turut menyelesaikan problem yang ada.
Baca Juga: Apa Perbedaan Zakat, Infak, dan Sedekah?
Andai-andai yang paling kasat mata tentang hal itu, menurut Mas Ramanda, adalah kala dua orang oknum sebuah organisasi ulama tepergok kasus terorisme. Dengan serta-merta organisasi ulama tersebut menggunakan ‘jurus oknum’ yang dilebur dengan ‘jurus langkah seribu’ dengan pernyataan: mereka sudah lama tidak aktif di organisasi. Segampang itu kah?
Sambil menahan geram, Mas Ramanda menegaskan bahwa jurus-jurus seperti itu tidak pernah menyelesaikan masalah. Organisasi ulama itu harusnya mengakui dulu bahwa oknum-oknum tersebut adalah bagian dari tubuhnya. Setelah itu, organisasi ulama itu harus mengakui bahwa memang ada problem dalam pola perekrutan mereka selama ini. Lepas itu, barulah upaya penyelesaian dilakukan di titik-titik mana problem tersebut hadir. Institusi ustadz yang ketiban duren salah seorang anggotanya berbuat cabul pun demikian. Harus ada pengakuan terhadap kenyataan tersebut lalu dicari penyelesaian pada problem mengapa ada ustadz yang sampai tega berbuat bejat seperti itu. Ada apa dengan institusi ustadz itu sendiri selama ini?
Bagi Mas Ramanda, istilah ‘oknum’ sesungguhnya adalah pembedaan antara ideologi atau institusi dengan para penganut atau pengusungnya. Ideologi dan institusi tidak mungkin melakukan kesalahan karena memang bukan orang. Para penganut dan pengusung lah yang bisa berbuat konyol. Karena itulah, tiap individu mereka disebut oknum. Ideologi dan institusi harus bersih dari cacat dan cela agar tetap bisa meraup pendukung. Biarlah para oknum yang ditimpai kotor.
Mas Ramanda hendak membalik logika di atas. Baginya, ideologi dan institusi sesungguhnya imajiner, tidak nyata. Para oknum itulah yang nyata. Karena itu, merawat ideologi tidak dengan cara mengamputasi para oknum yang bersalah, tetapi dengan cara melibatkan ideologi dan institusi untuk menyadarkan mereka karena jangan-jangan ada cacat pada ideologi atau institusi itu sendiri sehingga hadir oknum-oknum yang yang sedemikian lucu.
Mas Ramanda lalu memberikan penutup untuk kegelisahannya. Dia mengajak saya untuk melihat para pelaku kejahatan yang mengatasnamakan agama, yaitu para teroris, para pendakwah caci-maki, para penunggang agama untuk kepentingan politik, sosial, serta ekonomi, dan yang sejenis dengan mereka. Islam adalah ideologi sekaligus institusi bagi mereka, tetapi mereka mengatasnamakan Islam untuk kekonyolan ulah mereka.
Teknik amputasi dengan menyebut mereka sebagai oknum tidak mempan untuk kasus di atas. Memang tidak mungkin menyalahkan Islam dalam hal ini, tetapi ada dua sasaran yang harus ditinjau ulang yaitu pemikiran mereka dan pemikiran yang mereka kutip untuk melegitimasi pendapat mereka dari para pemikir lama atau ulama lama. Karena itu, mereka harus diakui terlebih dahulu sebagai bagian dari umat Islam dan demikian pula pendapat yang mereka kutip juga bagian dari peradaban Islam. Setelah itu, yang dilakukan adalah menelisik apa yang salah pada mereka dan apa yang salah pada pemikiran yang mereka kutip. Lalu, dibuatlah sebuah pemikiran baru yang lebih relevan dengan zaman dan juga toleran, inklusif, ramah, moderat, dan rahmatan lil alamin.
Baca Juga: Hukum Mengulang-Ulang Doa dalam Shalat
Mas Ramanda sesungguhnya hendak mengusulkan sebuah upaya penyelesaian yang komprehensif atas persoalan umat yang tidak akan komprehensif jika jurus oknum tetap diamalkan. Dampaknya yang lebih jauh adalah kegagalan untuk memberikan kritik terhadap ideologi dan institusi itu sendiri atau pemikiran lama yang sudah memfosil menjadi institusi dan ideologi karena memang harus ada kritik karena zaman terus melaju sedangkan ideologi dan institusi berupa pemikiran tetap itu-itu saja.
Akhirnya saya berpisah dengan Mas Ramanda. Kegelisahannya sudah mulai terkikis. Tetapi, apakah Mas Ramanda sendiri merasa sebagai oknum yang sedang gelisah atau tidak?
Dr. Abdul Muid N, MA, Ustadz di Cariustadz.id