Pelajaran dari Tiang Masjid: Kisah Tsumamah bin Utsal, Bukti Islam Menghapus Kebencian dengan Cinta

Di tengah hiruk pikuk padang pasir yang membentang, sejarah mencatat sebuah kisah yang begitu menyentuh, tentang seorang raja yang kehidupannya berbalik 180 derajat. Ia adalah Tsumamah bin Utsal, penguasa Yamamah yang gagah berani, yang awalnya adalah seorang musuh bebuyutan Islam. Namun, ia akhirnya menjadi salah satu pembela agama yang paling setia dan teguh. Kisahnya bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah perjalanan spiritual dari kekerasan menuju kelembutan, dari kekuasaan menuju keimanan, dan dari dendam menuju cinta. Kisah ini adalah bukti nyata bahwa kekuatan akhlak dan cinta kasih mampu mengubah hati sekeras batu sekalipun.

Pada suatu hari, Tsumamah ditangkap oleh sekelompok pasukan kecil Muslim saat sedang memantau perbatasan kota. Tanpa mengetahui siapa sebenarnya laki-laki itu, para sahabat membawanya ke Madinah dan mengikatnya di salah satu tiang Masjid Nabawi. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau mengenali Tsumamah, Raja Yamamah yang merupakan musuh besar Islam. Kehadirannya sebagai tawanan di tengah-tengah pusat peradaban Muslim saat itu menjadi pemandangan yang mengejutkan bagi semua orang. Tsumamah, dengan tatapan tajam dan penuh wibawa, tidak meronta ataupun memohon ampun, melainkan hanya diam mengamati.

Selama tiga hari, Tsumamah terikat di tiang masjid, menyaksikan secara langsung kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya. Setiap hari, Rasulullah mendatanginya, bukan dengan amarah atau ancaman, melainkan dengan pertanyaan lembut dan penuh kasih. “Apa pendapatmu sekarang, wahai Tsumamah?” tanya Rasulullah. Tsumamah menjawab dengan penuh kehormatan: “Jika engkau membunuh, engkau membunuh seorang bangsawan. Jika engkau memaafkan, engkau memaafkan orang yang tahu berterima kasih. Dan jika engkau menginginkan harta, mintalah berapa pun yang kau mau”. Jawaban yang sama diulanginya setiap hari, dan Rasulullah hanya tersenyum, tanpa paksaan, tanpa komentar.

Hingga pada hari ketiga, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk melepaskan Tsumamah. Sebuah keputusan yang mungkin membingungkan, namun tidak pernah dipertanyakan oleh para sahabat yang tahu bahwa Rasulullah tidak pernah salah dalam menilai hati manusia. Setelah dibebaskan, Tsumamah pergi meninggalkan masjid. Namun, ia tidak lari atau menyimpan dendam. Ia berjalan menuju kebun kurma di luar Madinah, membersihkan dirinya, dan kembali lagi ke masjid. Kali ini, ia datang bukan sebagai tawanan, melainkan sebagai seorang pencari kebenaran. Di hadapan para sahabat yang heran, Tsumamah dengan lantang berseru: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”.

Dengan air mata yang menetes, Tsumamah mengakui perasaannya yang telah berubah drastis. Ia berkata kepada Rasulullah: “Dulu tidak ada wajah yang lebih aku benci selain wajahmu. Tapi kini, wajahmu adalah yang paling aku cintai”. Ia juga menyatakan bahwa agama dan negeri yang dulu sangat dibencinya, kini menjadi yang paling dicintai. Rasulullah, dengan kelembutan yang luar biasa, memaafkan semua kesalahan Tsumamah di masa lalu, menegaskan bahwa Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya.

Kisah Tsumamah yang terabadikan dalam buku Shuwarun min Hayati as-Shahabah mengajarkan kepada kita sebuah pelajaran yang sangat berharga. Ia adalah bukti bahwa hidayah tidak datang melalui paksaan atau kekerasan. Sebaliknya, ia datang melalui kemuliaan akhlak, keindahan budi pekerti, dan kekuatan cinta kasih. Rasulullah tidak menggunakan posisinya sebagai penguasa untuk menekan Tsumamah, melainkan menggunakan akhlaknya sebagai utusan Allah untuk membuka hatinya. Kasih sayang yang tulus dari Nabi membuat Tsumamah menyadari kebenaran Islam yang sesungguhnya.

Setelah memeluk Islam, Tsumamah tidak pernah goyah. Ia bahkan menggunakan kekuasaannya sebagai Raja Yamamah untuk membela Islam, memblokade pasokan gandum ke kaum Quraisy hingga mereka takluk dan meminta pertolongan kepada Rasulullah. Di masa kritis setelah wafatnya Nabi, Tsumamah berdiri tegak menghadapi nabi palsu Musailamah Al-Kadzab dan memimpin rakyatnya untuk memerangi kemurtadan. Ia menjadi benteng keimanan yang tak tergoyahkan bagi kaumnya.

Refleksi dari kisah ini adalah bahwa cinta adalah kekuatan terkuat di dunia. Rasulullah tidak membalas kebencian Tsumamah dengan kebencian, melainkan dengan cinta, pengampunan, dan kemuliaan. Di era modern yang sering kali diwarnai oleh kebencian dan perpecahan, kisah Tsumamah adalah pengingat bahwa jalan menuju perdamaian dan persatuan selalu dimulai dari hati. Dengan menebar cinta, kita tidak hanya mengubah diri kita sendiri, tetapi juga dapat mengubah orang lain, bahkan musuh terbesar kita. Kasih sayang yang tulus, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah, adalah kunci untuk membuka pintu hati yang terkunci dan membangun jembatan di atas jurang kebencian.

Khoirul Muhtadin, M.Ag.,  Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini