Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Maha Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Maha Mulia. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahui olehnya. (Qs. Al’Alaq/1-5)
Betapa luhur makna ayat yang diyakini sebagai wahyu yang kali pertama diterima oleh Rasulullah Saw. Kemuliaan Qs. Al-‘Alaq ayat 1-5 ini bukan saja karena ia menegaskan bahwa Allah ialah al-Khaliq (pencipta) seluruh makhluknya terkhusus manusia. Namun juga, Allah menyebutkan proses ‘kemanusiaan’ manusia itu sendiri yaitu ‘allama’ proses belajar, pengajaran, pentransferan ilmu, bahkan dalam bunyi ayat kelima, ‘Allama al-Insana maa lam ya’lam/ Allah mengajarkan manusia apa-apa yang tidak atau belum ia ketahui sebelumnya karena keterbatasan ilmu manusia, sementara Allah menyandang sifat/ nama Al-’Alim, Zat Yang Maha Mengetahui segala hakikat dan ilmu. Kepada-Nya-lah semua ilmu bermula dan bermuara.
Jika kita uraian makna dasar Al-‘Alim yang merupakan salah satu dari 99 nama baik Allah, kita temukan bahwa kata al-Asma’ adalah bentuk jamak dari kata al-ism. Asalnya ialah as-sumuww yang biasa diterjemahkan dengan ‘nama’. Ia berakar kata al-sumuww yang berarti ketinggian. Melalui kata tersebut, kita mengetahui bahwa langit dinamai as-Sama’ karena ketinggiannya. Tak heran maka, al-Asma’ yang berarti nama-nama yang ditujukan pada Allah, Sang Maha Tinggi, memiliki akar kata yang sama dengan langit (as-Sama’) tadi.
Dengan demikian, penyifatan nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlatif itu, menunjukkan bahwa nama-nama yang melekat pada Allah—atau yang akrab kita kenal dengan Al-Asma’ al-Husna’ bukan saja baik, tetapi juga yang terbaik. Quraish Shihab misalnya, mengetengahkan bahwa ‘ar-Rahman/ Maha Pengasih’ misalnya, ialah sifat yang luhur dan baik. Bisa saja, manusia menyandang sifat berkasih sayang pada makhluk dan sesama manusia. namun tetap, sifat Rahman Allah jauh melampaui sifat kasih makhluk. Baik perbedaan kapasitas kasih maupun substansinya.
Para ulama juga memberikan perhatian khusus terkait asmaul Husna ini. Imam al-Qurthubi (lahir 1214 M) dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ia telah menghimpun dalam bukunya al-Asna fi Syarh Asma’ al-Husn a jumlah keseluruhan asmaul Husna mencapai dua ratus nama. Bahkan, Abu Bakar Ibn ‘Araby (1076-1148 M) salah seorang ulama bermazhab Maliki seperti dikutip oleh Ibn Katsir menyebutkan bahwa sebagian ulama telah menghimpun nama-nama Allah sebanyak seribu nama. masyaAllah..
Begitu dalam dan bermaknanya setiap nama-nama Allah yang kita ketahui ada 99 (bahkan lebih menurut uraian para ulama yang telah disebutkan di atas) tak cukup untuk diurai dalam tulisan sederhana ini. Pun kata Al’Alim yang memiliki makna sumber dari segala ilmu. Dari Allah segala ilmu bermula dan Dia berikan ilmu-ilmu itu pada siapa saja yang dikehendaki. Siapakah mereka yang dimaksud? Kita dapat merujuk ke salah satu ayat misalnya ‘…Innamaa yakhsya Allah min ‘ibadhi al-‘Ulama (Qs. Fathir/28)/ sungguh, di antara hamba-hamba yang takut pada Allah ialah ulama (orang yang berilmu).’ Sehingga, ada keterkaitan antara Allah al-‘Alim (Zat yang Maha Mengetahui dan Mengajarkan makhluknya) dengan rasa khasyah/ takut, tunduk, taat dalam diri manusia.
Semakin banyak belajar dan ilmu yang Allah titip padanya, maka semestinya, semakin tinggi pula rasa takutnya pada Allah; takut bermaksiat, takut tidak mampu menyampaikan/ menyalahgunakan ilmu yang diamanahkan Allah, takut bersikap sombong atas ilmu yang sedikit, serta ketakutan-ketakutan pada Allah yang dilandasi dengan rasa taat pada-Nya. Semakin berilmu seseorang makai ia kian sadar bahwa ‘…Wa maa uutitum minal ilmi illa qalilaa (Qs. Al-Isra’.85)/ dan tiadalah Allah memberikan ilmu pada manusia kecuali sangat sedikit’ artinya, semakin belajar, kita semakin sadar bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui. Semakin belajar, seyogyanya pun kita sadar agar mengikat ilmu itu dengan sikap rendah hati.
Karena itu, proses pengamalan ilmu memiliki keterkaitan antara lafadz al-‘Alim dengan Qs. Al’Alaq ayat 5 di atas bahwa proses penyucian nama Allah, menyadari kebesaran Allah sebagai al-Khaliq dan mengetahui kelemahan diri sendiri dan terus mau belajar & berbagi ilmu walau sedikit adalah serangkaian cara untuk mendatangkan ilmu yang belum kita ketahui. Tak heran, Imam Malik pun seperti yang dikutip dalam kitab Maraqy al-‘Ubudiyyah berkata, ‘Man ‘amila bimaa ‘alima waratsahu Allah ‘alima maa lam ya’lam—barangsiapa yang mengamalkan sesuatu yang diketahuinya maka Allah akan mewariskan baginya ilmu/apa-apa yang belum ia ketahui’.
Melalui ungkapan tersebut, kita mengetahui bahwa ada proses belajar yang terus ditempuh oleh manusia sebagai makhluk yang dibekali akal pikiran oleh Allah, sekaligus menyadari bahwa proses belajar akan lebih sempurna dengan pengajaran. Sedikit ilmu yang Allah titipi, akan sangat bermakna jika terus dipelajari dan dibagi. Upaya pengamalan ilmu juga menjadi salah satu cara untuk ‘mengundang’ hadirnya ilmu-ilmu Allah yang lain yang belum kita ketahui sebelumnya. Semoga.
Demikian, Allahu ta’ala a’lam.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini