Bisakah kita membayangkan bagaimana jika tidak ada perhitungan tahun dalam menjalani hidup kita?
Tahun ditandai dengan peristiwa besar yang terjadi di dalamnya. Misalnya, tahun kemerdekaan Indonesia, tahun waktu Jokowi diangkat jadi presiden, atau tahun saat gunung merapi meletus.
Tentu sulit sekali bukan?
Kita akan kesulitan menghitung berapa tahun sudah berlalu sejak suatu peristiwa terjadi. Kita juga sulit menetapkan kapan akan melakukan sesuatu. Berapa tahun dari sekarang? Bagaimana memperkirakannya?
Itu pulalah yang dirasakan oleh masyarakat Arab pada saat itu. Orang Arab biasa menggunakan peristiwa besar sebagai patokan tahun. Misalnya, tahun kelahiran Rasulullah saw. dinamakan tahun gajah, karena pada tahun itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Gubernur Yaman, Abrahah. Beberapa daerah juga menggunakan kalender Persia dan Romawi.
Sampai pada suatu hari, Abu Musa Al-Asy’ari, Gubernur Bashrah (Irak) ketika itu, menulis surat kepada Khalifah Umar bin Khattab ra. mengenai kebingungannya dalam menjalankan perintah Amirul Mukminin pada saat itu.
Pasalnya, dalam surat-surat yang beliau kirimkan, hanya tertera bulan, namun kapan tahun pelaksanaannya belum jelas.
Memang, sampai tahun kelima pemerintahan Umar itu (dalam sejarah kemudian dicatat tahun 638 M), tidak digunakan tahun dalam penanggalan.
Sementara itu, wilayah kekuasaan Islam semakin besar, penanggalan yang jelas pun semakin diperlukan agar masalah administrasi dapat terkelola dengan lebih baik. Antara satu daerah dengan yang lain, yang selama ini menggunakan patokan masing-masing untuk sistem penanggalannya, juga bisa dipersatukan agar tidak terjadi kebingungan.
Akhirnya Umar bin Khattab ra. mengumpulkan para sahabat untuk mendiskusikan hal ini. Musyawarah dihadiri oleh Utsman bin Affan ra., Ali bin Abi Thalib ra., Abdurrahman bin Auf ra., Sa’ad bin Abi Waqqas ra., Zubair bin Awwam ra., dan Thalhah bin Ubaidillah ra.
Beberapa usulan seperti tahun lahir dan wafatnya Rasulullah saw., tahun pengangkatan Nabi Muhammad menjadi Rasul, diajukan sebagai penanda tahun pertama dalam musyawarah tersebut. Pada akhirnya, usulan Ali yang digunakan, tahun hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah pun menjadi penanda awal tahun kalender Islam. Karenanya, kalender tersebut kemudian dinamakan kalender hijriah.
Nama bulan yang digunakan dalam kalender hijriah mengikuti nama-nama bulan yang telah berlaku saat itu di wilayah Arab, yaitu: Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’idah, Dzulhijjah.
Bulan Muharram dipilih menjadi bulan pertama dalam kalender hijriah, karena Rasulullah saw. telah mulai mengirim pengikutnya berhijrah pada bulan tersebut, setelah Bai’at al-Aqabah kedua pada bulan Dzulhijjah, yang salah satu isinya adalah kesepakatan akan hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah. Sehingga tekad dan proses berhijrah dianggap telah dimulai pada bulan Muharram, walaupun perjalanan hijrah Rasulullah itu sendiri baru dilakukan pada bulan Rabi’ul Awwal.
Berbeda dengan kalender masehi yang menggunakan peredaran matahari (syamsiyah), kalender hijriah menggunakan peredaran bulan sebagai dasar perhitungannya (qomariyah). Karenanya, tidak seperti kalender masehi yang terdiri dari 365 hari, jumlah hari dalam kalender hijriah, berdasarkan siklus sinodik bulan adalah 354/355 hari. Jika tengah malam menandakan berakhirnya suatu hari dalam kalender masehi, hari baru dalam kalender hijriah diawali dari terbenamnya matahari.
Karena siklus sinodik bulan bervariasi, jumlah hari dalam setiap bulan pada kalender hijriah juga berubah-ubah, tergantung posisi bulan, bumi, dan matahari pada saat itu. Itulah sebabnya penentuan awal dan akhir Ramadhan ditentukan berdasarkan hilal atau pertama kalinya muncul penampakan bulan sabit setelah bulan baru. Begitu pun dengan bulan lainnya, yang dapat berjumlah 29 atau 30 hari sesuai penampakan hilal itu tadi.
Sebelum datangnya Islam, jumlah hari dalam tiap bulan kerap ditambahkan oleh kaum Quraisy demi menyelaraskannya dengan musim (interkalasi/ nasi’), salah satunya untuk mengambil keuntungan perdagangan yang lebih besar dengan mengatur agar jamaah haji datang di musim yang sama setiap tahunnya. Praktek semacam itulah yang kemudian dihapuskan oleh Allah swt. melalui Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 36-37.
Kalender hijriah telah menjadi bagian penting dalam kehidupan seorang muslim. Penentuan kapan suatu ibadah dapat, tidak boleh, atau harus dilakukan, berdasarkan kalender hijriah.
Kalender yang diawali dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. dan para pengikutnya yang penuh perjuangan dan pengorbanan demi kebenaran, yang setiap awal tahunnya sewajarnya mengingatkan kita untuk senantiasa berjuang menuju perubahan ke arah kebaikan. (aca)