Makna Kata “Qul” dalam Al-Qur’an dan Rahasia di Balik Perintah Langsung dari Allah

Di dalam Al-Quran, sering kita jumpai ayat-ayat yang dalam penyebutannya diulang dua kali atau bahkan berkali-kali. Ini menandakan, redaksi dalam ayat tersebut mengundang kita sebagai pembaca untuk merenungkan apa dibalik makna pengulangan tersebut. Salah satu kata yang sering diulang-ulang itu adalah “Qul” yang berarti “Katakanlah”

Kata ini kerap hadir di awal ayat, seolah menjadi penanda bahwa apa yang akan disampaikan bukanlah suara Nabi, bukan pula hasil renungan manusia, melainkan pesan langsung dari Allah kepada umat-Nya. Namun, di balik kesederhanaannya, kata “Qul” menyimpan dimensi makna yang begitu dalam—mulai dari penegasan otoritas wahyu, metode komunikasi Ilahi, hingga penguatan posisi kenabian sebagai penyampai, bukan pencipta risalah.

Tentu, pengulangan kata “Qul” ini, menurut Imam Suyuti, dalam al-Itqan fi ‘ulum al-Qur’an, setidak-tidaknya ada empat fungsi utama dari pengulangan (at-tikrār) semacam ini dalam Al-Qur’an, yang semuanya berkaitan dengan cara Allah menegaskan pesan-pesan-Nya kepada manusia.

Pertama, pengulangan digunakan sebagai taqrīr atau penetapan makna, yakni untuk menguatkan satu kebenaran agar benar-benar tertanam dalam kesadaran umat, sebagaimana terlihat dalam Surah al-An‘ām ayat 19. Kedua, ia berfungsi sebagai ta’kīd (penguatan pesan) sekaligus ziyādat at-tanbīh (penarik perhatian), agar manusia tidak melewatkan perkara penting, seperti dalam Surah al-Mu’min ayat 38–39. 

Ketiga, pengulangan juga bermakna tajdīd li ‘ahdihī, yaitu penyampaian ulang sebagai bentuk penyegaran terhadap pesan yang pernah disampaikan, sebagaimana termaktub dalam Surah an-Nahl ayat 109–110. Dan keempat, pengulangan hadir sebagai ta‘ẓīm, untuk menggambarkan keagungan suatu perkara—sebagaimana bisa kita rasakan dalam getaran makna Surah al-Ikhlash ayat 1–4. Dengan kata lain, setiap kata “Qul” yang diulang, sejatinya membawa bobot makna, bukan sekadar bunyi yang terus dihadirkan.

Qul: Murni Wahyu Allah

Di dalam Qur’an, Allah berkalam menggunakan dua model, yakni kun (كُنْ), maka jadilah dan qul قُلْ, katakanlah wahai Muhammad. Yang pertama, dari kata kun itulah lahir menjadi ayat-ayat kauniyyah, ayat-ayat yang tersirat, terhampar, terhempar luas menjadi alam semesta raya ini dan segala proses yang berlangsung di dalamnya, Segala sesuatu yang terjadi tanpa banyak bersuara. Allah swt., melalui redaksi kun ini, tidak berfirman dengan huruf dan suara biasa, melainkan “huruf” realitas yang dieja dengan pengalaman empiris.  Dalam kosmologi Peradaban Jawa, kelakone kanthi laku, artinya segala sesuatu terwujud dan tercapai dengan cara dijalani atau dilakukan.

Kedua, sabda qul, katakanlah Wahai Muhammad. Maka jadilah ayat-ayat Qauliyyah, yang tersurat, menjadi barasuara simbolik berlapis. Untuk ayat ini butuh kemampuan mendengarkan yang baik, tak jemu menyimak. Ayat jenis ini menuntut kesediaan untuk mendengar, ketekunan untuk menyimak, dan keberanian untuk mengimani. 

Tidak semua maknanya bisa langsung dialami “di sini dan sekarang”, sebab sebagian berbicara tentang hal-hal gaib, tetapi bisa terimajinasi di dalam pikiran, yang oleh para ulama disebut sebagai sam’iyyāt: perkara-perkara yang hanya bisa diketahui melalui berita wahyu. Ia bekerja di wilayah imajinasi spiritual—ruang batin tempat keyakinan bertumbuh. Anda bisa tahu kalau anda mau mendengar. Segala yang bisa anda imajinasikan berarti nyata. Dalam bahasa iman, apa yang Allah kabarkan—meski belum kita lihat—adalah kenyataan yang sedang menunggu waktu untuk disingkapkan.

Kata “qul” yang berarti “katakanlah” dalam Al-Qur’an ternyata menyimpan banyak hikmah dan pesan mendalam. Para ulama merangkum setidaknya beberapa pelajaran penting di balik penggunaan kata ini sebagai berikut:

Pertama, kata “qul” menegaskan bahwa seluruh isi Al-Quran adalah wahyu murni dari Allah. Menurut penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, dalam konteks Surat Al-Ikhlas yang didahului kata qul, membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw. menyampaikan segala sesuatu yang diterimanya dari ayat-ayat Al-Quran yang disampaikan oleh Malaikat Jibril a.s. Dengan kata lain, Rasulullah Saw tidak menambahkan satu pun dari dirinya; beliau hanyalah penyampai pesan Ilahi. 

Kedua, kata “qul” menjadi bukti bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah, baik dari sisi lafaz maupun maknanya. Bukan sekadar ide ilahiah yang disampaikan dengan kata manusia, tetapi benar-benar kalam Allah seutuhnya.

Ketiga, fakta bahwa kata “qul” muncul lebih dari 300 kali dalam Al-Qur’an menunjukkan adanya perintah langsung dari “luar”—yakni dari Allah sendiri kepada Nabi-Nya. Ini berbeda dengan cara manusia menyampaikan pesan. Misalnya, jika seseorang disuruh berkata, “Sampaikan pada si Fulan bahwa Allah itu Esa,” maka sang utusan biasanya akan berkata, “Orang yang mengutusku berpesan bahwa Allah itu Esa.” Namun, Al-Qur’an justru mengutip perintah itu secara langsung:

“Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlas: 1)
“Katakanlah (kepada orang-orang kafir): Tuhanku tidak mengindahkan kamu melainkan karena doa dan ibadahmu.” (QS. Al-Furqan: 77)
“Katakanlah: Aku tidak berkuasa mendatangkan mudarat dan tidak pula manfaat bagi diriku sendiri, kecuali apa yang dikehendaki Allah.” (QS. Yunus: 49)

Gaya seperti ini menegaskan bahwa Al-Qur’an bukan narasi Rasulullah, melainkan kalam Allah yang disampaikan apa adanya.

Keempat, Al-Qur’an memiliki empat tujuan utama: mengesakan Allah (tauhid), meneguhkan kenabian, menguatkan iman kepada hari kebangkitan, serta menegakkan keadilan dan ibadah. Kata “qul” berkaitan langsung dengan dua tujuan pertama yakni tauhid dan kenabian. Yang memerintahkan “katakanlah” adalah Allah, dan yang diperintah adalah Nabi Muhammad Saw. Di sanalah wilayah tauhid dan kenabian bertemu.

Kelima, secara menarik, nilai huruf dalam ilmu abjad untuk kata “qul” adalah 132, sama dengan nilai abjad nama Muhammad”. Sebagian ulama memaknai hal ini sebagai isyarat batin bahwa pengulangan perintah “qul” dalam Al-Qur’an juga meneguhkan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw.

Menariknya, perintah “Qul” tidak hanya hadir dalam konteks teologis, tetapi juga dalam dialektika resiprokal, spiritual, bahkan sosial. Dari urusan keimanan, bantahan terhadap kaum ingkar, hingga ajakan kepada tauhid, Allah memilih untuk “menitipkan” kata-kata-Nya lewat lisan Rasul saw., sekaligus menegaskan bahwa Al-Qur’an bukan karangan Nabi, melainkan wahyu murni.  Karena itulah, memahami makna “Qul” tidak sekadar urusan kebahasaan, melainkan menjadi pintu masuk (entry point) untuk menyelami bagaimana Allah berbicara kepada manusia—dengan otoritas, kasih sayang, dan hikmah yang mengikat langit dan bumi.

Maka, tak berlebihan kiranya jika kita mengucapkan “barakallahu alfi marrah”—seribu kali keberkahan dari Allah—atas ilmu dan hikmah Ilahi yang luar biasa, yang menghiasi Al-Qur’an dengan keselarasan makna sekaligus keindahan rahasia.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini