Ketidakjujuran Ilmiah: Belajar dari Ketegasan Ilmuwan Islam

Ketidakjujuran ilmiah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan dalam dunia akademik saat ini, misalnya kasus yang menimpa puluhan guru besar di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin. Banyak ilmuwan dan peneliti yang tergoda untuk melakukan praktik-praktik tidak etis demi meningkatkan reputasi mereka. Publikasi ilmiah seringkali dipandang sebagai mata uang akademik, di mana semakin banyak publikasi, semakin tinggi posisi atau pengakuan yang mereka peroleh. Sayangnya, tekanan ini telah mendorong beberapa akademisi untuk melakukan manipulasi, seperti memanipulasi data, plagiarisme, jual beli jurnal Scopus atau memanfaatkan jurnal predator. Fenomena ketidakjujuran ilmiah ini tidak hanya merusak kualitas riset, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas ilmu pengetahuan yang seharusnya dijunjung tinggi.

Ketidakjujuran ilmiah memiliki dampak yang merusak, baik pada individu maupun institusi akademik. Penelitian yang tidak etis atau dipublikasikan di jurnal predator menghasilkan temuan yang tidak dapat diandalkan. Ini tidak hanya menyesatkan komunitas ilmiah, tetapi juga bisa berdampak negatif pada kebijakan publik yang didasarkan pada penelitian tersebut. Selain itu, reputasi institusi akademik yang terlibat dalam publikasi semacam ini juga terancam. Institusi yang seharusnya menjadi pusat inovasi dan pengetahuan malah bisa kehilangan kepercayaan, baik di mata masyarakat luas maupun komunitas ilmiah internasional. Imam Ghazali dalam muqaddimah kitab Bidayatul Hidayah berpesan:

Ketahuilah wahai manusia yang berusaha mendapat ilmu pengetahuan, yang tampak dari padanya usaha dan sangat haus kepadanya. Bahwa jika engkau menuntut ilmu untuk bersaing, berbangga diri, mengalahkan teman sebaya, mencari simpati atas orang lain, dan mengharap harta dunia. Maka sesungguhnya engkau sedang berusaha menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu, dan menjual akhirat dengan dunia.   Dengan demikian, engkau mengalami kegagalan, perdaganganmu merugi. Dan gurumu menjadi orang yang telah membantumu dalam berbuat maksiat serta menjadi sekutumu dalam kerugian tersebut. Gurumu itu seperti orang yang menjual pedang bagi pembegal jalanan, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang membantu terwujudnya perbuatan maksiat walaupun hanya dengan sepatah kata, ia sudah menjadi sekutu baginya dalam perbuatan tersebut.”

Berbeda dengan fenomena akademik modern, ilmuwan Islam di masa lalu sangat ketat dalam menjaga integritas keilmuan, terutama dalam bidang hadits. Ilmuwan seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah contoh teladan yang menunjukkan betapa pentingnya ketelitian dan kejujuran dalam menyampaikan ilmu. Dalam tradisi hadits, setiap perawi atau penyampai hadits harus memiliki kredibilitas yang tinggi dan terpercaya. Ilmuwan Islam melakukan penyaringan ketat terhadap perawi hadits, memastikan bahwa hanya mereka yang memiliki integritas moral (tsiqah) dan intelektual (dhabit) yang dapat diterima sebagai sumber yang sah dalam menyampaikan ajaran Nabi Muhammad.  Alat yang digunakan ulama’ untuk menilai kredibilitas perawi dikenal dengan ilmu “Jarh wa Ta’dil”.

Ketegasan dalam menjaga integritas ilmiah, seperti yang diterapkan dalam Jarh wa Ta’dil, sangat penting dalam setiap disiplin ilmu. Tanpa integritas, ilmu pengetahuan kehilangan nilai utamanya—kebenaran. Penelitian yang tidak jujur atau hasil yang dimanipulasi hanya akan menyesatkan masyarakat dan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Itulah sebabnya ilmuwan Islam sangat berhati-hati dalam menyampaikan ilmu. Kejujuran dan transparansi menjadi pilar utama dalam setiap penelitian mereka, dan hal ini menjadi contoh yang relevan bagi dunia akademik saat ini yang semakin terancam oleh ketidakjujuran.

Sayangnya, dunia akademik modern sering kali lebih mementingkan kuantitas publikasi daripada kualitas dan etika. Ilmuwan yang menghasilkan banyak publikasi cenderung mendapatkan penghargaan lebih tinggi, meskipun kualitas penelitiannya mungkin dipertanyakan. Ini sangat berbeda dengan ilmuwan Islam masa lalu yang lebih menekankan pada kualitas dan kredibilitas sumber ilmu. Ilmuwan modern sering terjebak dalam perlombaan untuk mempublikasikan sebanyak mungkin karya ilmiah, meskipun ini mengorbankan etika dan integritas. Publikasi di jurnal predator atau manipulasi data menjadi salah satu dampak buruk dari orientasi semacam ini.

Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari ilmuwan Islam masa lalu. Prinsip kejujuran, transparansi, dan ketelitian dalam penelitian harus dihidupkan kembali dalam dunia akademik modern. Ilmuwan masa lalu lebih mementingkan kredibilitas dan dampak jangka panjang dari penelitian mereka, ketimbang sekadar mendapatkan pengakuan atau penghargaan. Akademisi modern harus kembali ke prinsip dasar ilmu pengetahuan: pencarian kebenaran. Dengan menempatkan kualitas dan integritas di atas segalanya, dunia akademik dapat memulihkan kepercayaan masyarakat dan menjaga integritas ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Wallahu A’lam.

Khoirul Muhtadin, M.Ag.,  Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini