Peran Penting Binatang dalam Kisah al-Quran

وَمَا مِن دَآبَّةٍۢ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا طَـٰٓئِرٍۢ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمْثَالُكُم ۚ مَّا فَرَّطْنَا فِى ٱلْكِتَـٰبِ مِن شَىْءٍۢ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ (المائدة: ٣٨)

Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab (Lauhul Mahfudz), kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.

Al-Qur’an tetap menjadi sumber inspirasi, pengetahuan, dan keimanan yang tiada henti bagi seluruh umat manusia—dan sebagai Muslim, kita mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa kita terus berupaya untuk belajar dan menjadikan diri kita lebih baik melalui pesan-pesan Al-Qur’an.

Di dalam Al-Quran, Allah mengingatkan kita semua tentang peran binatang di bumi, kewajiban mereka terhadap Allah, dan bagaimana kita (sebagai manusia) harus sadar memperlakukan hewan dengan baik dan hormat sebagai ciptaan Allah. Ada lebih dari 200 ayat dalam Al-Quran yang menyebutkan binatang, dan enam surah juga didedikasikan untuk binatang: Surah Al-Baqarah (Sapi), Surah Al-An’am (Binatang Ternak), Surah Al-Nahl (Lebah), Surah Al-Naml (Semut), Surah Al-‘Ankabut (Laba-Laba), dan Surah Al-Fil (Sang Gajah).

Semua ayat yang berbicara mengenai bermacam-macam hewan di dalam al-Qur’an sejatinya memang untuk pengingat manusia. Manusia—sebagai ciptaan yang paling sempurna, karena mempunyai akal budi sehingga hidupnya tidak hanya untuk bertahan hidup—diharapkan bisa berlaku bijaksana saat bersinggungan dengan binatang. Namun sayang, sepertinya keterampilan dan kemampuan untuk hidup bersama semakin lenyap dalam diri manusia. Mereka seringkali mengandalkan keakuan dan keegoisannya. 

Ada satu ungkapan menarik dalam cerita filsafat ilmu. “Jika yang mempunyai akal budi adalah sekumpulan singa, maka yang perlu dilestarikan bukanlah mereka, melainkan manusia. Karena dengan cakarnya, taringnya, dan kekuatannya, manusia akan mudah sekali untuk dipunahkan”( Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu). 

Binatang tidak hanya berperan penting sebagai sumber konsumsi manusia, ia juga tidak hanya sekedar alat bantu yang membantu kehidupan manusia (sebagaimana kehidupan tradisional), ia juga tidak hanya sekedar alat yang diperdagangkan. Tetapi sebaliknya, kehadiran manusia di bumi tidak lain untuk memberikan keseimbangan alam. Hidup berdampingan dengan binatang, bukan malah sebaliknya, mengeksploitasinya. Inilah maksud dari bunyi ayat “خليفة في الأرض”  atau pemimpin di bumi.

Dalam cerita burung gagak yang diabadikan al-Qur’an, disebutkan bagaimana ia sangat berkontribusi dalam mengajari Qabil tentang cara mengubur saudaranya yang telah ia bunuh. 

فَبَـعَثَ اللّٰهُ غُرَابًا يَّبۡحَثُ فِىۡ الۡاَرۡضِ لِيُرِيَهٗ كَيۡفَ يُوَارِىۡ سَوۡءَةَ اَخِيۡهِ​ؕ قَالَ يَاوَيۡلَتٰٓى اَعَجَزۡتُ اَنۡ اَكُوۡنَ مِثۡلَ هٰذَا الۡغُرَابِ فَاُوَارِىَ سَوۡءَةَ اَخِىۡ​ۚ فَاَصۡبَحَ مِنَ النّٰدِمِيۡنَ (المائدة:​​​‏٣١)

Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak menggali tanah untuk diperlihatkan kepadanya. (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Qabil berkata, “Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Maka jadilah dia termasuk orang yang menyesal.

Dalam Animals in The Glorious Qur’an, terdapat ulasan menarik dari Ahmad Bahjat tentang perumpamaan atas “curhatan” yang diungkapkan burung gagak ketika melihat kejadian kejam pertama kali di muka bumi. Ya, siapa lagi kalau bukan manusia yang melakukannya, yakni membunuh saudaranya sendiri. 

Burung gagak berkata, “hari itu merupakan hari yang mengerikan. Aku tahu, bahwa itu semua karena ulah setan. Betapa anehnya tindakan setan! Betapa patuhnya manusia terhadapnya! Katanya sih, orang-orang mencintai Allah; tapi mereka tidak menaati-Nya. Dan katanya mereka juga membenci setan, tapi mereka tetap menaatinya. Betapa anehnya spesies yang disebut “manusia” dan betapa parahnya kontradiksi-kontradiksi ini. Betapa besarnya rahmat dan ampunan Allah kepada manusia. Maafkan bahasa saya karena saya sedikit marah.”

Ungkapan kejengkelan burung gagak di atas patut dimaklumi, mengingat ia adalah hamba Tuhan yang pertama kali mengetahui sifat paradoks manusia; katanya mencintai Tuhan, tetapi kebanyakan menaati setan. Sifat kesal burung gagak mungkin juga memuncak ketika sikap manusia yang melihatnya sebagai burung pembawa sial. Sebagai sesama ciptaan Allah, manusia sering memposisikan gagak sebagai hewan yang “buruk rupa”, pemakan bangkai, dan memiliki suara yang jelek.

Tapi satu hal yang manusia lupakan adalah bagaimana sejelek-jeleknya tampilan burung gagak, mereka tidak munafik seperti manusia, mereka juga berjasa mengajari Qabil yang kebingungan ketika saudaranya, Habil, meninggal dengan bersimbah darah di tangannya. Bagaimana bila saat itu tidak ada burung gagak yang diminta Allah untuk mendekati Habil dan mengajari cara mengubur yang baik? Mungkin cerita manusia bisa berbeda. 

Pada akhirnya, manusia perlu insaf dari keserakahan yang menguasai batinnya yang bisa muncul kapan saja. Manusia perlu sadar bahwa kehadirannya di pentas bumi ini tidak hanya untuk kesenangan kehidupan mereka semata. Pertanyaan eksistensialisme ini perlu sesekali hinggap di benak umat manusia agar mereka tahu diri. Ketika mereka tahu posisi dan fungsi mereka di dunia ini, diharapkan mereka tidak sekedar menjadikan akal budinya untuk “menaklukkan” alam, termasuk binatang. Tetapi lebih dari itu, menjaga ekosistem mereka agar tetap stabil dan memberi manfaat satu sama lain.

Zaimul Asroor. M.A., Dosen IAI Khozinatul Ulum dan Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini