Hati Sebagai Pembeda Antara Tahadduts bi al-Nim’ah dan Riya

Di antara keindahan ajaran Islam adalah penekanan besar pada kebersihan hati dalam setiap amal. Islam bukan hanya mengatur apa yang dilakukan seorang hamba, tetapi juga mengapa ia melakukannya. Dua amal bisa tampak sama di mata manusia, tetapi di sisi Allah nilainya dapat sangat berbeda. Di sinilah hati memainkan peran paling besar.

Salah satu persoalan niat yang paling sering menjadi kebingungan umat adalah membedakan antara tahadduts bi al-nim’ah—mengungkap nikmat Allah sebagai bentuk syukur—dan riya`—menampakkan amal atau nikmat dengan tujuan mendapat pujian manusia. Perbedaan antara keduanya sangat halus, sehingga hanya hati yang jujur dan terlatih yang mampu menjadi penentu.

Tahadduts bi al-Nim’ah: Sebuah Perintah yang Disebut dalam al-Qur’an

Tahadduts bi al-nim’ah berarti menyebut atau menampakkan nikmat Allah dengan tujuan mensyukuri-Nya. Dasarnya terdapat dalam firman-Nya pada akhir surah al-Dhuha: 

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebutnya.” (QS. Ad-Dhuha: 11).

Namun, ayat ini tidak berdiri sendiri. Quraish Shihab, dalam Tafsir al-Mishbah, mengutip penjelasan Fakhr al-Din al-Razi bahwa perintah menampakkan nikmat tersebut datang setelah Allah mengingatkan tiga keadaan masa lalu Nabi Muhammad Saw:

Pertama, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai yatim lalu Dia melindungimu?” kedua, “Dia mendapatimu dalam kebingungan lalu Dia memberi petunjuk kepadamu,” dan ketiga, “Dia mendapatimu sebagai orang yang kekurangan lalu Dia mencukupimu.”

Tiga pengingat ini tidak hanya menunjukkan kasih sayang Allah kepada Nabi, tetapi juga menyusun logika moral di balik tiga perintah berikutnya: jangan berlaku kasar terhadap anak yatim karena engkau pun pernah yatim, jangan menghardik orang yang meminta-minta karena engkau pernah berada dalam kekurangan, dan sebagai puncaknya, tampakkanlah nikmat Allah sebagai bentuk syukur atas limpahan karunia-Nya.

Dalam kerangka ini, tahadduts bi al-nim’ah bukan sekadar menceritakan nikmat, tetapi merupakan respon spiritual atas pengalaman hidup dan kasih sayang Allah. Seorang hamba yang sadar akan sejarah dirinya—masa lemah, masa bingung, masa kekurangan—akan melihat nikmat yang ia miliki hari ini bukan sebagai kehebatan dirinya, melainkan sebagai bukti perhatian Allah.

Karena itu, menampakkan nikmat dalam rangka syukur menjadi ibadah hati; ia menghidupkan rasa terima kasih, mengakui peran Allah dalam hidupnya, dan menginspirasi orang lain untuk melihat keluasan rahmat-Nya. Menyebutkan nikmat dalam konteks ini justru menambah keimanan, sebab ia mengembalikan segala keberhasilan kepada Allah, bukan kepada diri sendiri.

Riya`: Ibadah yang Ternoda oleh Pandangan Manusia

Berbeda dengan tahadduts bi al-nim’ah, riya` adalah menampakkan amal, nikmat, atau suatu kelebihan agar dipuji manusia. Nabi Saw mengkhawatirkannya sebagai syirik kecil, yakni penyakit hati yang menjadikan manusia sebagai pusat perhatian. Jika tahadduts mengangkat nama Allah, riya mengangkat nama diri sendiri.

Riya membuat amal kehilangan makna spiritualnya. Seseorang bisa bersedekah, shalat, atau berbicara tentang nikmat, tetapi bila motivasinya untuk memperoleh pengakuan manusia, maka amal itu menjadi hampa di sisi Allah.

Riya biasanya muncul ketika hati lebih senang dipuji daripada diridhai, ketika kesuksesan lebih ingin ditampilkan sebagai kehebatan pribadi daripada karunia Ilahi, atau ketika amal baik terasa kurang berarti kecuali jika diketahui orang lain. Di sinilah letak bahayanya: riya dapat menyelinap dalam amal-amal kecil sekalipun, bahkan dalam ucapan “Alhamdulillah” yang disampaikan dengan nada membanggakan diri.

Hati sebagai Penentu

Secara lahiriah, tahadduts dan riya bisa tampak mirip: sama-sama menyebut nikmat. Namun, pembeda keduanya berada dalam kedalaman niat. Kita dapat memeriksa kejernihan hati dan niat dengan pertanyaan sederhana: “Untuk siapa aku melakukan ini? Apakah aku berharap ridha Allah atau pengakuan manusia?” 

Bila hati condong pada syukur, pada keinginan mendorong orang lain berbuat baik, atau pada pengakuan atas kebesaran Allah, maka ia dekat dengan tahadduts bi al-nim’ah. Namun bila hati terasa lebih puas dengan pujian, pengakuan, atau sanjungan, maka ia telah memasuki wilayah riya.

Cara lain membedakan keduanya adalah dengan menguji apa yang tetap kita lakukan ketika tidak ada yang melihat. Amal yang kita kerjakan dengan kegigihan meski tanpa sorotan manusia adalah amal yang lebih dekat kepada keikhlasan. Sebaliknya, bila semangat beramal menguat hanya ketika ada penonton, maka hati sedang membutuhkan perbaikan.

Ketika Menampakkan Nikmat Menjadi Kebaikan

Dalam kondisi tertentu, menampakkan nikmat bukan hanya boleh, tetapi dianjurkan. Seseorang yang menceritakan perjalanan hijrahnya agar orang lain termotivasi berarti sedang melakukan dakwah. Guru yang menyebut pengalaman menghafal al-Qur’an agar murid tidak mudah putus asa, ataupun dermawan yang mengabarkan program kebaikan agar orang lain ikut berpartisipasi, semuanya merupakan bentuk tahadduts yang bernilai ibadah. Di sini, penyebutan nikmat berperan sebagai sarana mengajak kepada kebaikan dan meneguhkan syukur.

Namun ada juga keadaan ketika menyebut nikmat berubah menjadi riya. Hal ini terjadi ketika penyebutan itu disertai nada membanggakan diri, merasa lebih dari yang lain, atau berharap dihormati. Hati yang demikian menjadikan nikmat sebagai alat menaikkan status, bukan sebagai sarana mengagungkan Allah. Karena itu, latihan hati sangat penting, sebab pergeseran niat dapat terjadi secara halus tanpa kita sadari.

Menata Hati agar Tetap pada Ranah Syukur

Untuk menjaga agar menampakkan nikmat tidak berubah menjadi riya, ulama menganjurkan beberapa sikap: mengawali setiap ucapan dengan memuji Allah agar hati sadar bahwa nikmat itu berasal dari-Nya; meniatkan penyebutan nikmat untuk kemaslahatan, bukan kebanggaan; memilih kata-kata yang rendah hati; membatasi cerita pada hal-hal yang memberi manfaat; dan memperbanyak amal tersembunyi sebagai penyeimbang bagi amal yang terlihat. Semakin banyak rahasia ibadah yang kita simpan untuk Allah, semakin mudah hati menjaga keikhlasan dalam amal yang tampak.

Pada akhirnya, pembeda antara tahadduts bi al-nim’ah dan riya bukanlah pada kata-kata yang diucapkan, tetapi pada hati yang melahirkannya. Hati yang bersih akan menjadikan penyebutan nikmat sebagai jalan syukur. Namun hati yang lemah akan menjadikannya sebagai panggung pujian. Semoga Allah membersihkan niat kita, menguatkan syukur kita, dan menjauhkan kita dari riya dalam segala amal. Aamiin.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini