Istilah post-truth memang tidak terlalu populer di masyarakat Indonesia, namun sadar atau tidak – suka atau tidak – kita semua telah memasuki era tersebut. Sebenarnya, istilah post-truth erat dengan diskursus politik dan dipopulerkan oleh Steve Tesich dalam sebuah artikel di majalah The Nation dengan judul, “The Government of Lies.” Artikel ini berisi keresahan Tesich tentang propaganda yang diciptakan negara-negara di perang teluk pada awal dekade 90an.
Apa itu era post-truth? Jika dimaknai secara harfiah, maka post-truth berarti pasca-kebenaran. Namun sekilas makna tersebut cukup samar untuk dipahami tanpa mengetahui konteksnya. Oleh karena itu kita perlu merujuk pada maknanya secara istilah. Menurut Oxford Dictionary, post-truth adalah “berkaitan dengan keadaan di mana orang lebih menanggapi perasaan dan keyakinan daripada fakta (kenyataan yang terjadi).”
Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa era post-truth adalah zaman di mana suatu masyarakat tidak terlalu peduli dengan kebenaran suatu peristiwa, melainkan pada sentimen, emosi, dan kepercayaan. Akibatnya, fakta obyektif tidak dianggap sebagai elemen penting dalam membentuk opini atau perspektif, tetapi hampir sepenuhnya bergantung pada emosi, perasaan dan keyakinan yang bersifat subjektif.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, era post-truth dapat dimaknai sebagai zaman di mana kebohongan atau informasi palsu menyamar menjadi kebenaran. Ini dilakukan dengan cara memainkan emosi, sentimen dan perasaan orang yang mendapatkan informasi palsu tersebut sehingga percaya dan menerimanya sebagai sebuah fakta atau kebenaran. Dengan kata lain, ini seolah menyulap kebohongan menjadi kebenaran.
Bahaya Laten Post-Truth
Melalui penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa terdapat bahaya laten dalam era post-truth, yakni penyebaran kebohongan yang lambat-laun dipercayai sebagai kebenaran. Dalam konteks ini, kebohongan era post-truth di tengah masyarakat bak serigala berbulu domba yang sulit dikenali. Akibatnya, terjadi fenomena “kebenaran semu”, sebuah kebenaran yang bukan dilandaskan dengan fakta atau kenyataan, melainkan kebohongan yang dianggap sebagai kebenaran.
Era post-truth semakin menjadi bahaya laten manakala dikaitkan dengan media sosial dan internet. Sebab, keduanya memuat tsunami informasi yang hampir tak terhingga namun minim filtrasi atau validasi kebenarannya. Kombinasi keduanya (post-truth dan internet) adalah ibarat racun langka-mematikan yang sulit dicari penawarnya.
Situasi ini semakin diperparah manakala pengguna internet dan sosial media memiliki literasi yang rendah (minim baca). Jika situasi tersebut tidak segera diatasi, maka mungkin akan terjadi “normalisasi kebohongan”, yakni di mana kebohongan yang dibungkus mirip kebenaran menjadi norma kehidupan masyarakat. Akibatnya, kebenaran objektif tidak lagi dipedulikan dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang Muslim Harus Teliti di Era Post-Truth
Berkenaan dengan kebohongan dan era post-truth, sebenarnya Allah Swt. melalui Al-Qur’an secara substansial telah mewanti-wantinya. Firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 6 yang berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat ayat 6).
Secara umum, surah al-Hujurat ayat 6 berisi perintah kepada orang-orang beriman agar meneliti informasi yang disampaikan oleh orang fasik. Ketelitian ini perlu dilakukan agar mereka (orang beriman) tidak menyesal karena telah bertindak gegabah akibat kesalahan informasi yang dapat berujung pada kecelakaan kelompok tertentu.
Ibnu Katsir menuturkan dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim (7/370), surah al-Hujurat ayat 6 merupakan perintah Allah Swt. kepada orang beriman untuk menelaah informasi yang diterima dari orang fasik, apakah itu benar atau bohong. Jika itu kebohongan, maka tidak boleh diikuti karena dapat menghantarkan kepada kerusakan dan Allah swt. melarang hambanya mengikuti orang-orang yang berbuat kerusakan.
Sedangkan Imam al-Qusyairi menerangkan dalam Lathaif al-Isyarah (3/439), surah al-Hujurat ayat 6 menunjukkan kepada kita agar segera memverifikasi informasi yang datang dari orang fasik hingga ditemukan keabsahannya. Dengan kata lain, verifikasi informasi tersebut harus segera dilakukan dan jangan sampai berlarut-larut karena dikhawatirkan dapat menjadi penyebab terjadinya suatu masalah.
Berdasarkan pemaparan di atas, sikap seorang Muslim dalam konteks era post-truth adalah selalu teliti dalam menerima informasi, terutama yang datang dari media sosial dan internet. Kehati-hatian terhadap informasi di internet didasarkan pada potensi penyebaran berita bohong, hoax, propaganda yang tinggi di media tersebut. Jika tidak bisa memastikan kebenarannya, maka sebaiknya didiamkan saja. Jangan sampai mempercayainya atau menyebarkannya. Wallahu a’lam.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini