Sebagai kitab suci umat Islam, al-Quran menjalani empat fungsinya seperti yang difirmankan dalam Qs. Yunus/ 10: 57 yakni sebagai mau’izhah (nasihat), hudan (petunjuk), syifa’ (obat), rahmah (kasih sayang). Empat fungsi al-Quran ini tergambar dari sekian banyak ayat al-Quran yang Allah turunkan, memiliki tujuan kemaslahatan bagi manusia. Tiada satu perintahpun dalam Al-Quran kecuali untuk mendidik fisik dan jiwa manusia baik perintah shalat, puasa, zakat haji dan masih banyak lagi.
Amin al-Khuli pakar tafsir sastrawi dalam karyanya Min Hadyil Quran fi Ramadan, menguraikan bahwa salah satu bentuk ibadah yang ‘melatih’ fisik dan jiwa manusia ialah puasa. Puasa merupakan bagian dari latihan atau madrasah untuk memperbaiki diri (al-tadrib al-islahi). Sedangkan laparnya orang yang berpuasa merupakan salah satu bagian dari upaya untuk menyeimbangkan diri dari berbagai hal. Apabila latihan penyeimbangan diri ini dapat terealisasikan secara menyeluruh dalam berbagai keinginan manusiawi, maka akan terbentuk pribadi yang bertakwa, sebagaimana tujuan akhir dari puasa seperti yang diungkap penghujung ayat Qs. Al-Baqarah/2: 183—la’allakum tattaqun.
Keseimbangan pada hakikatnya merupakan bagian dari sunnatullah. Apabila keseimbangan tidak terjaga, maka yang akan terjadi adalah kehancuran umat manusia itu sendiri. Keseimbangan manusia menurut Azhari Akmal Tarigan misalnya dalam 40 Pesan Agar Puasa Lebih Bermakna, ada tiga bentuk keseimbangan hidup yang sebisa mungkin mampu dijaga oleh manusia yaitu pertama, keseimbangan dunia dan akhirat. Kehidupan dunia akhirat tidak bisa dipandang berbeda. Manusia dianjurkan untuk bisa memanfaatkan dunia untuk melakukan aktivitas kebaikan (‘amal shalih) dan di saat yang sama ia juga memproyeksikan agar amal-amal yang dilakukannya itu mampu menjadi bekal pemberat amal kebaikan di akhirat. Betapa santun al-Quran mengingatkan pada kita dengan lafadz ‘walaa tansa nashibaka’ janganlah kamu melupakan nashib/ bagian (keni’matan) dan atau kehidupan dunia dalam Qs. Al-Qashsash/ 77.
Kedua, keseimbangan jasmani dan ruhani. Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk dua dimensi. Ada dimensi fisik (jasmani) dan ada dimensi ruhani. Kedua dimensi ini memerlukan ‘asupan gizi’ yang berbeda-beda. Dimensi fisik membutuhkan hal-hal yang bersifat material; makan, minum, kebutuhan biologis dan lain sebagainya. Sementara dimensi ruhani membutuhkan hal-hal yang bersifat spiritual. Dominasi pemenuhan kebutuhan jasmani membuat manusia bersifat rakus yang pada akhirnya mengeksploitasi alam tanpa rasa tanggung jawab. Akibat dari dominasi ini bukan saja ketidakseimbangan dan kehancuran manusia melainkan juga seluruh makhluk alam raya. Sementara itu, jika manusia hanya memenuhi kebutuhan jiwa tanpa memikirkan kebutuhan fisiknya, maka ia kehilangan semangat dan progresivitas dalam mengemban amanahnya sebagai khalifah fil ardh/ pemakmur & pengelola bumi.
Ketiga, keseimbangan kehidupan individual dan sosial. Dimensi dua kebutuhan jenis ketiga ini juga perlu diseimbangkan mengingat manusia sendiri ialah manusia yang suka berinteraksi. Namun demikian, dalam kesempatan lain, manusia juga perlu ‘me-time’ hanya dengan dirinya dan Tuhannya. Karenanya, al-Quran senantiasa menyebut ‘aqiimush shalat wa aatuz zakaat’ secara beriringan. Shalat sebagai pemenuhan ‘gizi ruhani’ agar selalu dekat dan merasa diawasi oleh-Nya, sementara zakat bentuk kesempurnaan cinta pada-Nya melalui upaya berbagi pada sesama. Kedua ibadah ini disebut secara beriringan karena menunjukkan ada hubungan yang erat antara shalat dengan zakat yang sebisa mungkin dilakukan secara seimbang.
Karena itu kesempurnaan shalat dapat dilihat dari kesempurnaan zakat. Hubungan keduanya timbal balik dan saling memberikan kontribusi karena shalat simbol hubungan kepada Tuhan (hablun minallah) dan zakat adalah simbol hubungan kepada sesama manusia (hablun minannaas). Alasan ini pula yang digunakan Abu Bakar ra dalam memerangi orang-orang yang enggan berzakat. Menurutnya, orang-orang yang mengingkari kewajiban zakat sama dengan mengingkari kewajiban shalat karena al-Quran menyebutnya bersamaan. Karenanya, penggandengan shalat dan zakat menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara keduanya. Korelasi dimaksud adalah bahwa ibadah yang baik tidak hanya melulu pada urusan ketuhanan tetapi harus diseimbangkan dengan urusan kemanusiaan. Allahu ta’alaa a’lam.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini