Bencana Ekologis dan Golongan Mustad’afin dalam Al-Quran

Banjir bandang dan tanah longsor yang menimpa sebagian wilayah Sumatera menjadi pengalaman yang paling memilukan di penghujung tahun 2025 ini. Ribuan orang meninggal dunia, ratusan ribu jiwa kehilangan tempat tinggal, fasilitas pendidikan dan kesehatan rusak, kendaraan hanyut terbawa arus, akses jembatan pun terputus.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto dalam rilisnya menyatakan jumlah korban bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat per hari Minggu, (7/12) korban meninggal dunia 921 orang, hilang 392 orang, mengungsi 975.079 orang. Jumlah yang sangat fantastis mengingat ini bukan sekedar bencana alam.

Jika menggunakan istilah Qs. Ar-Rum/41 ‘bimaa kasabat aydinnas/ (kerusakan di darat dan di laut) disebabkan oleh campur tangan manusia’. Hal ini terlihat dari ribuan kayu gelondongan yang ikut terbawa hanyut saat musibah terjadi. Campur tangan manusia ini juga terasa karena beberapa kebijakan yang tak berpihak pada kepentingan rakyat, hutan yang kian habis dieksploitasi, aktivitas tambang terus meluas setiap hari— mengakibatkan bukan saja kerugian materi namun juga berdampak pada proses reproduksi.

Dampak dari bencana bukan saja kerusakan dan kelumpuhan fasilitas umum dan unsur fisik harta benda, namun juga proses reproduksi manusia—utamanya perempuan. Al-Quran mendeskripsikan tugas reproduksi yang sungguh berat dengan term ‘wahnan ‘alaa wahnin’  yakni kelelahan (kepayahan) demi kepayahan dalam Qs. Luqman/34: 14 juga dalam term kurhan (sesuatu yang membuat fisik- psikis seorang Ibu hamil kurang nyaman) dalam Qs. Al-Ahqaf/ 46: 15. Kurhan dan Wahnan bukan sekedar hiasan linguistik Al-Quran. Dua term ini mengisyaratkan pesan mendalam bahwa seluruh manusia diwajibkan untuk memberikan pertolongan, bantuan dan prioritas utama untuk mereka. Dalam kondisi bencama mencekam dan sangat sulit sekalipun, menstruasi tak bisa ditahan, perempuan hamil tetap harus makan, ibu menyusui tetap harus memberi asupan, anak-anak bayi juga harus tetap bertahan. Golongan mustad’afin (orang-orang lemah dan dilemahkan) inilah yang menanggung beban berat berganda. Maka mereka tetap harus menjadi prioritas utama saat bencana tiba bukan perbaikan infrastruktur semata.

Menarik jika kita membaca kisah saat Nabi Muhammad dan kaumnya sedang dalam situasi sulit karena peperangan. Kala Islam terus meluas dan Rasulullah memiliki banyak pengikut, para penguasa Quraisy mulai merasakan ancaman. Setiap hari, Nabi menghadapi intimidasi, penghinaan, dan celaan. Kehidupan dalam era “jahiliyyah” telah menciptakan tatanan yang bersifat eksploitatif dan menerapkan hukum rimba; yang kuat cenderung berkuasa. Hal ini mengakibatkan banyak orang menjadi korban. Di sisi lain, mayoritas masyarakat yang lemah yakni anak-anak dan perempuan, sering kali menjadi sasaran korban kekerasan baik dalam hal kemanusiaan, penghasilan, maupun hak untuk hidup.

Dalam QS. An-Nisâ ayat 75, Al-Qur’an mengkritik mengapa nasib-nasib orang-orang lemah justru tidak diperjuangkan. Merekalah kelompok masyarakat yang tidak boleh luput untuk selalu diperjuangkan “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!

Melalui ayat di atas, Fakhruddîn Al-Râzî dalam Mafâtih Al-Ghaib menyebutkan kewajiban untuk memperjuangkan (berjihad) nasib orang-orang lemah (mustadh’afîn). Dalam redaksi ayat bahkan tafsirnya, Al-Râzî menggunakan istilah berperang. Kewajiban ini mengingat orang-orang yang lemah; utamanya anak-anak, dan perempuan sudah berada dalam zona lemah yang paling dasar pada waktu itu. Bahkan menurut Al-Râzî, kewajiban untuk membela dan memperjuangkan nasib-nasib orang lemah adalah kewajiban.

Syaikh Wahbah az-Zuhaily memiliki pendapat senada. Beliau menguraikan bahwa kelemahan yang ditanggung oleh kalangan perempuan dan anak-anak, tentu berbeda dengan orang-orang kuat (laki-laki, red), sebab perempuan juga menanggung beban reproduksi yang akan sangat memengaruhi kondisi fisik- psikisnya. Terlebih dalam kondisi peperangan, dimana situasi mengerikan, banyak orang mati kelaparan karena ketiadaan bahan pangan. Prof. M. Quraish Shihab juga melihat ayat ini dalam konteks peperangan yang lebih luas. Peperangan tentu menyisakan banyak trauma dan kerugian. Namun, ada dua golongan yang tidak boleh diabaikan yakni golongan perempuan (terlebih mereka yang tengah menjalani fase hamil dan menyusui) juga golongan anak-anak. Jika melihat situasi yang sedang terjadi saat ini, maka bukan hanya peperangan yang menghambat proses reproduksi tersebut, bencana ekologis yang menimpa saudara-saudara kita di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara banyak menyisakan trauma amat dalam bagi golongan mustad’afin tersebut.

Selain menguatkan doa dan ikut menggalang dana, kita bisa mengambil langkah nyata dalam pelestarian alam maupun membagikan konten informasi melalui media sosial yang kita punya. Langkah tersebut di antaranya, turut ikut merawat bumi dengan mengurangi penggunaan plastic dan lebih banyak menanam pohon. Kedua, memasifkan kembali bencana ekologis ini di media sosial agar pemerintah menetapkan status bencana nasional.

Mari kita doakan untuk para korban terdampak, utamanya anak-anak dan perempuan agar tetap memeroleh hak dasarnya agar bisa terus bertahan. Semoga, bencana ini mampu menjadi pelajaran untuk kita semua dan para pemangku kebijakan, juga terus mendekatkan kita pada kebaikan. Aamiin

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini