Perkembangan teknologi yang kian pesat, tak ayal membuat beragam perubahan dalam kehidupan manusia. Keberadaan internet yang memudahkan hajat hidup kita, tentu menjadi kesempatan berharga untuk terus berkarya. Namun, satu hal yang tak mampu dihindari, maraknya konten-konten di social media, mau tak mau mempengaruhi pola pikir, tutur dan perilaku user/penggunanya.
Ada influencer yang posting tas terbarunya, batin berbisik ingin punya juga. Lalu ada teman posting makan jajanan viral di dunia maya, dalam hati pun ingin pula mencicipinya. Kemudian ada selebriti posting room tour seisi rumah dengan segala kemewahannya, jiwa bergemuruh, ‘Kok dia kaya, ya? Sementara saya, gini-gini aja?’.
Tak bisa dihindari lalu muncullah trend yang kita kenal dengan istilah zaman now ‘FOMO’ alias fear of missing out— takut dibilang ketinggalan zaman. Alih-alih mampu memfilter dampak negatif social media, tapi justeru malah kebablasan.
Lalu, bagaimana tuntunan Al-Quran dan sunnah dalam menghadapi dampak social media? Bagaimana pula agar orangtua mampu menanamkan rasa cukup dalam diri anak-anaknya?
Sebagai agama yang juga menuntun pemeluknya untuk hidup seimbang, Islam tidak melarang kita untuk mendayagunakan internet sebagai kebutuhan setelah sandang, pangan, papan karena betapa banyak dari kita yang bekerja dan menghasilkan cuan yang menjanjikan berkat internet.
Namun juga, Islam menekankan pemeluknya untuk menghindari diri dari hal-hal yang sifatnya mafsadat (merusak) juga ikut-ikutan dalam hal yang negatif, termasuk pula sikap berlebih-lebihan. Maka, bekal tuntunan Al-Quran yang paling bermakna di era serba cepat ini ialah menikmati dan mensyukuri hidup dengan merasa cukup.
Berbicara soal cukup, Rasulullah Saw bersabda, “Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051). Tuntunan Nabi Saw tentang sikap merasa cukup ini sangat beliau perlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Beliau terbiasa bersikap sederhana, mensyukuri apa yang dipunya, tidak risau dengan apa yang tidak dimilikinya.
Nabi Saw pun lebih sering berpuasa, ketika memang tidak ada makanan yang tersisa. Kesederhanaan hidup ini diteladankan Rasulullah SAW sebagaimana tergambar dalam hadis riwayat Malik bin Dinar RA, ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu [maka beliau makan sampai kenyang],” (H.R. Tirmidzi)
Sikap teladan Nabi ini dicontohkan karena beliau paham bahwa sifat dasar manusia ialah tidak pernah merasa cukup dan puas. Keinginan yang terus diperturutkan dapat menjadi penyakit hati, sementara perut yang terus diisi pun dapat menyebabkan aneka penyakit fisik.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436).
Memilih hidup untuk sederhana dan merasa cukup, berbeda dengan sifat kikir. Bukan saja soal kebutuhan pakaian, hiasan, tempat tinggal, kendaraan, makanan dan lain sebagainya. Namun dalam menggunakan harta (infaq) pun, Al-Quran memberikan tuntunan agar bersikap pertengahan. Dan, orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya. (Qs. Al-Furqan/ 67).
Dalam ayat di atas, Allah tidak menganjurkan untuk berinfaq secara ugal-ugalan sehingga kebutuhan hidup diabaikan. Atau sebaliknya, sangat kikir sehingga enggan bersedekah. Al-Quran menggunakan kata ‘qawama’ yang juga diartikan sebagai pertengahan, sederhana, sesuai porsinya, sesuai kesanggupannya.
Bersikap sederhana dan merasa cukup sebagai tuntunan akhlak Al-Quran dan hadits perlu ditanamkan orang tua pada anaknya di era teknologi ini. Terlahir di zaman serba cepat sehingga akses informasi dan jual beli dapat ditelusuri dengan sangat mudah, menjadi tantangan tersendiri agar anak merasa cukup dan mau bersikap sederhana. Orangtua dapat memulainya dengan memberikan teladan di rumah dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak.
Pertama, dalam pemilihan aneka pangan sehat di rumah. Orangtua dapat memperkenalkan bahwa Allah sudah memberikan limpahan rezeki buah-buahan dan sayur-sayuran sehingga anak-anak mengonsumsi makanan padat gizi, bukan makanan cepat saji. Gempuran jajanan viral (baik makanan dan minuman) ultra processed food (UPF) yang kaya gula & sangat menggoda, semoga bisa mereka hindari jika orangtua menanamkan prinsip gaya hidup sehat yang dimulai dari makanan, sejak dini & sesuai kebutuhan.
Kedua, orangtua dapat memberikan teladan dari para Nabi dan sahabat bahwa mereka selalu bersikap sederhana, kendati kaya raya. Ada Abdurrahman bin Auf yang sebagian kekayaannya disedekahkan dan beliau memilih untuk merasa cukup dengan apa yang dipunya. Juga Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan yang berani untuk mengeluarkan hartanya demi kebaikan bukan untuk flexing yang dampaknya mematikan.
Ketiga, menanamkan sikap untuk mempertahankan milik sendiri namun tak lupa, agar menjaga milik orang lain. Ini penting agar anak mampu memfilter mana benda miliknya yang boleh dimainkan dan dibawa pulang, selaras ia pun memahami hak orang lain yang tidak boleh mereka ambil secara paksa. Pengetahuan yang baik tentang hak orang lain, menjadikan mereka untuk memahami manfaat bersikap jujur.
Keempat, delay gratification atau menunda kesenangan. Tidak semua pencapaian anak harus dibayar dengan kebiasaan konsumtif. Menunda kesenangan dan menjelaskan bahwa ketercapaian mereka dalam bidang akademik, misalnya, tidak harus selalu dibayar dengan sesuatu yang baru (padahal tidak butuh). Sebab, kebiasaan membeli sesuatu tidak dengan pertimbangan yang matang, menjadikan anak-anak kurang memiliki kepekaan mana yang sebetulnya (hanya) ia inginkan dan mana yang sebetulnya benar-benar ia butuhkan.
Terakhir, menanamkan rasa bersyukur atas apa yang dimiliki dan tidak risau dengan apa yang ia tidak miliki. Mengajarkan bahwa ia boleh turut berbahagia dengan apa yang dimiliki temannya, mengapresiasinya namun juga mengajarkan bahwa ia tak melulu harus ikut-ikutan punya. Penanaman nilai ini diharapkan anak mengerti batasan mana milik temannya dan mana yang bukan haknya.
Demikian, wallahu a’lam.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini