Peringatan Nabi SAW bagi Mereka yang Gemar Mengutuk Zaman

Ada satu peringatan Nabi SAW yang terasa semakin relevan dibaca hari ini. Dalam hadis riwayat Tirmidzi, beliau bersabda:

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ: هَلَكَ النَّاسُ، فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ

“Apabila seseorang berkata: ‘Manusia telah rusak’, maka dialah orang yang paling rusak di antara mereka.” (HR. Tirmidzi, juz 4, hal. 576, no. Hadis: 1976)

Sekilas, hadis ini terdengar keras. Seolah Rasulullah sedang menutup ruang kritik dan mematikan keluhan. Padahal bukan itu maksudnya. Islam tidak anti-kritik, dan Nabi SAW tidak pernah mengajarkan sikap apatis terhadap kerusakan sosial. Yang beliau soroti justru mentalitas orang-orang yang terlalu mudah melabeli zamannya rusak.

Sebab tidak semua kritik lahir dari kepedulian. Tidak sedikit kritik yang sebenarnya berangkat dari kekecewaan pribadi, atau perasaan superior yang tak disadari. Dalam kondisi seperti ini, umpatan “zaman rusak” lebih banyak berfungsi sebagai cermin diri ketimbang potret realitas.

Apalagi di era rembesan informasi seperti sekarang. Kesalahan siapa pun mudah kita jumpai: blunder pejabat, kesilapan tokoh agama, konflik rumah tangga orang lain, hingga dosa personal yang seharusnya bersifat privat. Semuanya hadir di layar kita dalam resolusi HD dan berulang. Kita terbiasa mengomentari, menilai, bahkan menghakimi—sering kali tanpa jeda untuk bertanya: dari dorongan apa semua ini diucapkan?

Di titik inilah peringatan Nabi menemukan relevansinya. Kritik yang tidak diawali muhasabah berisiko berubah menjadi ekspresi ego. Ia terdengar lantang, tapi miskin kejujuran. Ramai di luar, hampa di dalam.

Kesadaran untuk muhasabah ini kemudian ditegaskan oleh Umar bin Khattab ra. Dalam sebuah atsar, beliau berkata:

حاسِبوا أنفسَكم قبل أن تُحاسَبوا

Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (Musnad al-Faruq: 2/618)

Kalimat ini sederhana, tapi sarat makna. Umar mengingatkan bahwa: sebelum sibuk menilai dunia, pastikan kita tidak lalai menilai diri sendiri.

Muhasabah yang dimaksud Umar bukan aktivitas musiman. Ia tidak menunggu Ramadhan, momen tertentu, atau tahun baru. Ia adalah kebiasaan batin—kesediaan untuk berhenti sejenak dan jujur menimbang diri, kapan pun kesadaran itu datang.

Karena orang yang rutin menghisab dirinya akan selalu menemukan cukup banyak kekurangan. Dan penemuan itu biasanya cukup untuk membuatnya menahan diri dari sikap merasa paling benar. Dari sinilah lahir kehati-hatian dalam berbicara, kerendahan hati dalam menilai, dan empati dalam menyikapi kesalahan orang lain.

Kebiasaan muhasabah diri ini tercermin jelas dalam teladan para ulama salaf. Bakr bin Abdullah al-Muzani pernah berkata: jika aku bertemu seseorang yang lebih tua dariku, aku berprasangka bahwa amalnya lebih banyak dariku; dan jika aku bertemu seseorang yang lebih muda, aku berprasangka bahwa dosanya lebih sedikit dariku. (Ibnul Jauzi, Shifat ash-Shafwa, Juz 2, hal. 146)

Dalam atsar lain, Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata: jika aku melihat seseorang dalam kemaksiatan, aku akan mencarikan banyak alasan bahwa ia melakukannya karena tekanan keadaan, keterpaksaan, atau tanpa sengaja.

Tentunya ini bukan sikap permisif terhadap dosa. Ini adalah buah dari muhasabah yang panjang. Orang-orang seperti mereka tahu betul bahwa mengenal diri sendiri secara jujur akan membuat seseorang sadar betapa rapuhnya ia di hadapan Allah. Dan kesadaran itu menumbuhkan satu hal penting: enggan menghakimi orang lain. 

Maka kritik tetap perlu. Kepekaan sosial tetap penting. Namun Islam mengajarkan satu prasyarat sunyi sebelum semuanya: keberanian menilai diri sendiri dengan standar yang sama kerasnya seperti saat kita menilai orang lain.

Karena bisa jadi, yang perlu diperbaiki bukanlah dunia yang kita anggap rusak, melainkan cara kita memandangnya.

Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini