Siapa yang tidak tahu dan hafal surah pendek bernama al-Ashr? Hampir semua muslim baik tua, muda, atau bahkan anak-anak kenal dan hafal surah Al-Ashr ini. Namun sayang, surah ini kurang “diselami” dan dikaji secara mendalam. Kebanyakan dari kita mungkin hanya cukup mengerti artinya, “demi masa”, atau cukup puas dengan membacanya saat melaksanakan shalat.
Padahal bila mengerti kandungannya, surat al-Ashr mampu menjadi pegangan hidup dan bahkan bisa mentransformasi pola pikir manusia menjadi lebih positif dalam menyikapi segala hal.
Saking pentingnya keutamaan surat ini dalam kehidupan kita, Imam Syafi’i pernah berujar,
Kalaulah manusia memikirkan kandungan surat ini, sesungguhnya cukuplah surat ini (menjadi petunjuk bagi kehidupan mereka).
At-Tabrani meriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin Hafs, dia berkata, “Ada dua sahabat Nabi saw. jika bertemu mereka tidak akan berpisah melainkan salah satu dari mereka berdua membaca surat al-‘Ashr terlebih dahulu, lantas mengucapkan salam.”
Saya menduga, riwayat inilah yang kemungkinan besar menjadi landasan para ulama di beberapa daerah untuk selalu menutup sebuah majelis, kajian keislaman atau pengajaran di Madrasah Diniah dengan bacaan surat al-Ashr sebelum mengucapkan salam.
Kata ‘Ashr diambil dari kata ‘ashara-ya’shiru-‘ashran. Di dalam al-Qur’an kata ini disebut lima kali dan tersebar di dalam empat surat (tiga surat Makiyah dan 1 surat Madaniyah). Dari segi kebahasaan, Ibnu Faris mengatakan bahwa kata ‘ashr mempunyai tiga makna: masa, perahan, dan tempat berlindung. Tentang kata al-‘Ashr dalam surat al-‘Ashr, para ulama sepakat mengartikannya sebagai waktu. (Quraish Shihab, Ensiklopedi al-Qur’an)
Menurut at-Thabari, sumpah Allah dalam bentuk waktu ini tidak dikhususkan kepada masa siang, malam, atau senja saja. Tetapi ia mencakup segala masa dan waktu. Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an mengatakan bahwa Allah bersumpah dengan “masa” atas apa yang ada di dalamnya, dari peringatan atas segala pengaturan keadaan dan pergantiannya, dan apa yang terdapat padanya. Semuanya menjadi bukti akan adanya sang Pencipta.
Muhammad Abduh mengatakan bahwa sumpah Allah dengan penyebutan “demi masa” untuk membantah anggapan sebagian orang yang mempermasalahkan waktu dalam kegagalan mereka (Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an). Misalnya dengan menganggap adanya hari apes, sial, atau yang lainnya.
Sumpah Allah dalam surat al-‘Ashr ini juga menjadi dalil atas kemuliaan waktu. Oleh karenanya, Rasulullah pernah mengingatkan:
Janganlah kalian memaki waktu, karena sesungguhnya Allah adalah (Sang Pemilik) waktu.
Amat logis bila kita fikirkan ulang bahwa biasanya manusia bersumpah dengan sesuatu yang menurutnya sangat penting. Misalnya, seseorang berkata, “Sumpah, demi Allah, saya telah mengerjakan pekerjaan dengan baik”. Selain itu, bersumpah juga biasa digunakan manusia sebagai bentuk meyakinkan lawan bicara.
Saking pentingnya sebuah sumpah, mushaf al-Qur’an biasanya juga dijadikan sumpah saat di persidangan. Nah, dalam surat al-‘Ashr ini Allah sendiri yang bersumpah, “Demi Masa”. Apakah masih ada yang meragukan janji Allah ini?
Setelah mengetahui pentingnya waktu, Allah kemudian menyebutkan sifat manusia yang seringkali berada dalam kerugian (khusr). Ibnu Abbas dan Muqatil memaknai kerugian ini berlaku bagi kaum kafir tertentu seperti Walid bin Mughirah, Aswad bin Abdul Muttholib, Abu Jahal, Abu Lahab, dkk. Akan tetapi, kerugian ini juga bisa bermakna umum, yakni bagi seluruh manusia. (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir)
Dua pemaknaan ini kemudian coba ditafsirkan Imam ar-Razi, bahwa bila kerugian ini disandarkan kepada orang kafir, ia bermakna “Mereka rugi dalam kesesatan dan kekafirannya. Kecuali apabila ada sebagian dari mereka yang akhirnya beriman.” Namun, bila kerugian (khusr) ini disandarkan kepada manusia secara umum, ia bermakna “Orang beriman tetapi tidak memaksimalkan diri dan usianya. Mereka inilah yang termasuk merugi, kecuali orang beriman yang memaksimalkan usianya dengan beramal dan bekerja dengan sungguh-sungguh. Inilah yang akan beruntung.” (Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib)
Selain iman sebagai syarat utama agar tidak merugi, selanjutnya surat al-‘Ashr juga menyebutkan syarat lanjutan, yaitu ‘amilus shalihat. Muhammad Abduh mendefinisikan amal saleh sebagai, “segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara umum.” Jika manusia telah melakukan amal saleh yang disertai iman, itu baru membebaskan dirinya dari setengah kerugian karena ia masih harus melaksanakan dua hal lagi agar benar-benar selamat dan terjauhkan dari kerugian.
Sampai akhirnya di ujung dua persyaratan lain agar manusia tidak merugi, yaitu tawashauw bil haqqi dan tawashaubis shabr (saling mewasiati tentang kebenaran dan kesabaran). Al-haq diartikan sebagai kebenaran yang diperoleh melalui pencarian ilmu dan as-shabr adalah ketabahan menghadapi segala sesuatu, serta kemampuan menahan rayuan nafsu demi mencapai yang terbaik (Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an).
Dalam penafsirannya atas surat al-‘Ashr, Quraish Shihab menyuguhkan kesimpulan penting bahwa secara keseluruhan surat ini berpesan agar kita tidak hanya mengandalkan iman saja, melainkan juga amal saleh. Tidak cukup di sini, bahkan amal saleh dengan iman pun belum cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian juga amal saleh dan ilmu saja belum memadai, kalau tidak ada iman.
Memang ada orang yang merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada juga yang merasa jenuh. Karena itu, ia perlu selalu menerima nasehat agar tabah dan sabar, sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya.
Mampu dan mau menerima nasehat agar tabah dan sabar inilah tantangan terakhir yang sekarang sangat mahal harganya. Kebanyakan dari kita sulit menerima masukan dan saran dari orang lain. Mungkin suara kita seringkali terlalu keras sehingga telinga dan hati kita tak mampu mengenali suara dan jeritan orang lain di sekitar. Wallahu A’lam.
Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini