Sejarah Percampuran Madzhab Fiqh dan Qiraat di Indonesia

Banyak pendapat yang menyebutkan tentang bagaimana Islam masuk ke Indonesia, ada yang mengatakan dibawa oleh pedagang dan ulama dari Gujarat, Mekah, Cina dan Persia. Semua pendapat itu bisa jadi benar, sebab wilayah Indonesia yang luas dan mungkin saja para pendakwah itu datang ke wilayah Indonesia yang berbeda.

Dari semua ajaran yang masuk, pada akhirnya mayoritas muslim Indonesia menjadi pengikut madzhab Imam Syafi’i dalam bidang fiqh. Tetapi, qira’at yang dipakai dalam membaca al-Qur’an adalah qira’at Imam ‘Ashim riwayat Hafsh. Hal ini tampaknya menarik dibahas, sebab qira’at Imam Syafi’i bersesuaian dengan qira’at Ibn Katsir, qira’at yang diriwayatkan dan dipakai oleh masyarakat Mekkah waktu itu, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Taufiq Ibrahim Dhamrah dalam buku “tahshilul manafi’ fi qira’at imam asy-syafi’i”. 

Imam Syafi’i mengatakan bahwa qira’at Ibn Katsir adalah qira’at yang sempurna, sementara qira’at Nafi’ adalah qira’at sunnah. Pernyataan beliau ini untuk memuji keunggulan qira’at Ibn Katsir sekaligus menghormati qira’at yang dipakai Imam Malik selaku guru beliau yang mengunggulkan qira’at Nafi’. Dua qira’at ini pula didahulukan dalam susunan Imam dan Perawi Al-Qur’an oleh Ibn Mujahid lalu diikuti oleh Imam Ad-Dani dan Ibnu Jazari.

Lantas, bagaimana sejarah yang menjadikan qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh menjadi qira’at yang masyhur di dunia, bahkan menggeser kemasyhuran dua qira’at dari Makkah dan Madinah ini? Lebih jauh lagi, bagaimana bisa pengikut madzhab Syafi’i dalam bidang fiqh tidak lagi mengikuti madzhab beliau dalam bidang qira’at, seperti di Indonesia?.

Sejarah bermula ketika Kesultanan Utsmani yang menganut madzhab Hanafi berniat mencetak mushaf al-Qur’an. Madzhab Hanafi dalam bidang qira’at dekat dengan bacaan Hafsh, meskipun bacaan asli Imam Abu Hanifah pada akhirnya dianggap syadz setelah ada pembakuan qira’at tujuh. Upaya Kesultanan Utsmani inilah yang menjadi alasan utama masyhurnya qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh.

Sebab, mushaf-mushaf cetakan yang kemudian beredar berdasar pada riwayat Hafsh. Selain itu, para pengajar qur’an di tanah haram juga mulai mengajarkan riwayat Hafsh kepada pendatang dan jama’ah haji dari berbagai negara. Pemilihan riwayat ini dikarenakan keberadaan fasilitas yaitu mushaf yang dicetak khusus tersebut.

Kemasyhuran riwayat Hafsh menyebar ke berbagai negara termasuk Indonesia. Sehingga bacaan yang dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah bacaan Hafsh, bahkan ada masa dimana qira’at selain Hafsh hampir tidak dikenali. Beruntung, saat ini pengajaran al-Qur’an dengan berbagai qira’at mulai gempar diadakan, sehingga qira’at tujuh maupun sepuluh bukan hal asing lagi.

Penggunaan qira’at Hafsh dalam pembacaan sehari-hari termasuk dalam shalat sudah diterapkan oleh pendakwah yang membawa ajaran islam ke Indonesia. Hal ini bukan suatu pelanggaran yang termasuk talfiq atau pencampuran madzhab. Sebab, setelah adanya pembakuan qira’at tujuh, para ulama fiqh memperbolehkan untuk membaca al-Qur’an dengan qira’at yang mutawatir di dalam shalat. 

Salah satu fatwa tentang kebolehan membaca al-Qur’an dengan qira’at yang mutawatir di dalam shalat adalah dari Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tibyan bab ke-6 yang menyatakan bahwa boleh membaca al-Qur’an dengan qira’at tujuh yang disepakati dan tidak boleh membaca dengan qira’at syadz diluar yang disepakati meskipun itu berasal dari Imam yang tujuh.

Jika membaca dengan qira’at syadz, maka batal shalatnya. Pernyataan Imam Nawawi yang membatasi dengan qira’at tujuh dikarenakan belum adanya pembakuan qira’at ‘asyrah atau qira’at sepuluh di masa beliau. Sebab, qira’at sepuluh baru dibakukan di era Ibnu Jazari. 

Demikianlah sejarah bagaimana pengikut madzhab fiqh Syafi’i terutama di Indonesia mayoritas tidak memakai qira’at Ibn Katsir sebagaimana dilakukan oleh Imam Syafi’i. Semoga dengan adanya sejarah ini, kita bisa mengambil ibrah dan menjadikan diri kita tidak fanatik terhadap pendapat tertentu dan bisa menerima perbedaan bahkan mengelaborasikan jika memang bisa dijumpai titik temu. Wallahu a’lam bi ash-shawab. 

Khoirul Muhtadin, M.Ag.,  Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini