Judul di atas merupakan kutipan langsung dari Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‘i:
لولَوْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى عِبَادِهِ حُجَّةً إِلَّا هٰذِهِ السُّورَةَ لَكَفَتْهُمْ
“Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah kepada hamba-Nya selain satu surah ini saja (surah al-‘Ashr), niscaya itu telah mencukupi mereka.”
Pernyataan ini bukanlah hiperbola, melainkan penilaian serius dari seorang imam besar tentang kedalaman makna tiga ayat singkat itu: ringkas, padat, jāmi‘ māni‘, dan memuat panduan komprehensif bagi siapa pun yang ingin menjalani kehidupan dengan versi terbaiknya.
Allah SWT membuka surah ini dengan sebuah sumpah. Dalam bahasa wahyu, sumpah ilahi selalu menandakan betapa “berbobot”-nya objek yang disumpahkan. Dan waktu (al-‘ashr) adalah salah satu objek tersuci yang dijadikan sandaran sumpah. Para bijak bestari berkata bahwa kita ini “punya” waktu, tetapi tidak pernah benar-benar memiliki waktu. Waktu diberikan, tidak bisa ditahan, tidak mungkin kembali.
Imam al-Ghazali bahkan pernah ditanya muridnya, “Apa yang paling jauh dari kita?” Beliau menjawab, “Masa lalu.” Tidak ada jarak yang lebih mustahil dijangkau selain waktu yang telah berlalu. Karena itu, pembukaan surah ini langsung membawa kita pada tema besar: hidup yang hanya berjalan ke satu arah dan tidak memberi kesempatan mengulang.
Setelah bersumpah, Allah membuat sebuah konklusi besar: seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Redaksi inna al-insāna la fī khusr memberi generalisasi total, bahwa secara default, galibnya manusia gagal mengelola waktu, gagal menghargai usia, dan gagal memaksimalkan jeda yang kita punya. Banyak waktu luang berlalu tanpa makna, banyak momentum hilang tanpa terasa.
Barulah pada ayat berikutnya Allah menjelaskan siapa saja yang tidak merugi. Mereka adalah orang-orang yang memanfaatkan waktunya untuk dua hal: beriman dan beramal saleh. Tetapi konsisten mengerjakan keduanya bukanlah perkara mudah. Semangat kita selalu fluktuatif: kadang tinggi, kadang merosot. Tidak semua hari adalah hari terbaik kita.
Karena itu, Surah al-‘Ashr menambahkan dua syarat penting: tawāshau bil-haqq dan tawāshau bil-shabr: saling menasihati dalam kebenaran dan saling menguatkan dalam kesabaran. Manusia memang makhluk yang rapuh jika berjalan sendirian. Iman mudah retak, amal mudah menurun, dan tekad mudah mengendur. Kita butuh dorongan, komunikasi, circle yang baik, dan ekosistem yang sehat untuk tetap berada di jalan yang benar. Iman itu personal, tetapi keteguhan menjaganya sering kali bersifat kolektif. Sebaik apa pun seseorang, apa gunanya jika ia berjalan dalam kesendirian tanpa komunitas yang saling menopang?
Itulah sebabnya Imam al-Syafi‘i menilai bahwa tiga ayat ini sudah lebih dari cukup sebagai “kursus singkat kehidupan”: arahkan waktu kepada iman, gerakkan tubuh kepada amal, kuatkan jiwa melalui kesabaran, dan bangun relasi yang saling menegakkan kebenaran.
Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini