Pernahkah kita bertanya kenapa Allah menganjurkan seorang ibu menyusui bayinya (asi eksklusif) selama dua tahun penuh, baru setelah itu menyapihnya? Pertanyaan itulah yang akan coba penulis jawab melalui tulisan singkat ini. Terutama melalui khazanah penafsiran ulama tafsir ketika memahami Surah al-Baqarah ayat 233 di bawah ini:
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.
Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya, “ini merupakan petunjuk dari Allah kepada para ibu untuk menyusui anaknya dengan penyusuan yang sempurna, yaitu selama dua tahun. Setelah itu penyusuan tidak ada lagi pengaruhnya.” Ia kemudian mengemukakan pandangan para imam bahwa masa penyusuan tidak dapat menjadikan mahram kecuali jika bayi yang disusui berusia di bawah dua tahun. Karena itu, jika ada anak yang menyusu kepada seorang wanita sedangkan usianya di atas dua tahun, penyusuan itu tidak menjadikan mahram baginya (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir). Sepertinya apa yang dimaksud Ibnu Katsir dengan “tidak ada lagi pengaruhnya” adalah implikasi hukum si anak dan si ibu untuk menjadi mahram. Mahram merupakan suatu ikatan yang menyebabkan seseorang haram untuk menikah atau dinikahi.
Tak heran bila kemudian Rasulullah pernah berkata saat putra beliau, Ibrahim, meninggal di usianya yang masih sangat belia, yakni satu setengah tahun. “Sesungguhnya Ibrahim adalah putraku, dan sesungguhnya dia punya dua orang yang menyempurnakan penyusuannya di surga” (HR. Muslim:2316). Sebuah ungkapan yang menyiratkan betapa pentingnya menyusui anak secara sempurna (dua tahun).
Selain surat al-Baqarah:233, terdapat ayat lain yang memiliki arti jelas terhadap perintah untuk menyapih di usia dua tahun:
“…masa mengandung sampai menyapihnya adalah selama tiga puluh bulan.”(al-Ahqaf: 15).
Sekilas, ada kesan perbedaan jumlah waktu penyusuan antara ayat pertama dengan ayat yang kedua. Quraish Shihab menerjemahkan ayat di atas dengan “masa kandungan di perut ibu dan penyapihannya yang paling sempurna adalah tiga puluh bulan”. Menurutnya, dapat dikatakan bahwa penyusuan minimal adalah sembilan bulan. Yang lebih penting dari sekedar jumlah bulan atau masa penyusuan di atas adalah pentingnya ibu menyusui anak dengan ASI (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah).
Quraish Shihab menjelaskan lebih rinci perihal jumlah penyusuan yang sempurna ketika menafsirkan al-Baqarah: 233. Ia menafsirkan bahwa al-Qur’an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung atau bukan, adalah makanan terbaik untuk bayi hingga usia dua tahun. Tentu, air susu ibu kandung lebih baik dari yang lainnya. Dengan menyusu pada ibu kandung, anak merasa lebih tenteram. Sebab menurut penelitian ilmiah, ketika itu bayi mendengar detak jantung ibu yang telah dikenalkannya sejak dalam perut. Detak jantung itu berbeda antara wanita satu dengan yang lainnya. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah).
Jika bapak/ibu sepakat untuk mengurangi masa tersebut, maka tidak mengapa. Tetapi, hendaknya jangan berlebih dari dua tahu. Karena dua tahun telah dinilai sempurna oleh Allah. Di sisi lain, penetapan waktu dua tahun itu sebagai tolok ukur bila terjadi perbedaan pendapat misalnya ibu/bapak ingin memperpanjang masa penyusuan. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah).
Wahbah Zuhaili memberikan pandangan yang mencerahkan perihal persoalan penyusuan ini. Menurutnya, keengganan menyusui karena merasa derajatnya tinggi atau karena takut kecantikannya memudar bertentangan dengan fitrah dan berdampak buruk bagi si anak. Selanjutnya, apakah menyusui itu kewajiban atau hak bagi ibu? Menurut jumhur ulama, menyusui dihukumi sunah dan sangat dianjurkan kecuali dalam kondisi darurat. Misalnya anak tidak mau menyusu ibunya. Ini sesuai dengan bunyi surat at-Talaq:6, “…Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir).
Umat Islam pun tahu bahwa sejarah hidup Nabi kita, Muhammad SAW. sewaktu masih kecil merupakan contoh persusuan sebelum ditetapkannya syariah tentang kemahraman akibat hubungan persusuan. Di kala itu, Rasulullah disusui oleh Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab dan Halimah Sa’diyah, ibu susunya dari Bani Sa’ad (Hamka, Tafsir al-Azhar).
Pentingnya menjaga kemurnian selama proses penyusuan ibu kepada sang anak juga menjadi sejarah keteladanan yang dilakukan para ulama Islam. Konon, para ulama yang cukup ketat dalam menjaga akhlak sang anak tidak mau menyusukan anaknya pada perempuan selain ibunya sendiri. Argumen mereka, demi menjaga kemurnian darah sang anak, mereka tidak mau menyusukan anaknya pada perempuan yang tidak diketahui keagungan budi pekertinya.
Abu Muhammad al-Juwaini, adalah sekian dari ulama besar yang cukup ketat dalam urusan persusuan anak. Dikatakan bahwa suatu ketika ia mengetahui bayinya disusui oleh perempuan lain karena sang istri sedang sakit yang menyebabkan air susunya tidak keluar. Mengetahui hal itu, al-Juwaini mengeluarkan air susu yang diminum anaknya dengan berbagai upaya seraya berkata, “bagiku tidak keberatan jika anak ini meninggal di waktu kecilnya, daripada rusak perangainya karena meminum susu perempuan lain, yang tidak aku kenal ketaatannya kepada Allah.”
Memang terdengar cukup berlebihan apa yang dilakukan oleh Abu Muhammad al-Juwaini. Akan tetapi anak al-Juwaini inilah yang kelak kelak menjadi imam besar dan guru dari madrasah-madrasah Naisabur. Ia adalah Imam al-Haramain Abdul Malik al-Juwaini, guru dari Imam al-Ghazali. Kisah ini dijelaskan cukup detail dalam tafsir Hamka, al-Azhar.
Di era yang sudah banyak beragam model pengasuhan anak ini, kita bisa menyesuaikan dengan maksud dan tujuan awal Abu Muhammad al-Juwaini, yakni menyadari betapa pentingnya segala yang orang tua berikan kepada anak-anak, terlebih rezeki dan nafkah itu akan diberikan kepada anak dan sangat mungkin berpengaruh pada akhlak si anak kelak. Sesuatu yang sepertinya agak dikesampingkan oleh manusia modern dewasa.
Zaimul Asroor. M.A., Dosen IAI Khozinatul Ulum dan Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini