Bukan hal yang baru bahwa manusia kerap, bahkan suka, melakukan kritik. Bukan hanya kepada orang yang dikenal, kritik juga sering ditujukan kepada orang asing. Entah si kritikus mengerti secara mendalam atau tidak akan apa yang menjadi objek kritiknya, pokoknya melakukan kritik adalah yang utama.
Manusia yang Tak Lepas dari “Mengkritik”
Kebiasaan suka mengkritik ini berkaitan erat dengan sifat alami manusia sebagai makhluk yang tidak terlepas dari interpretasi. Ketika seseorang melihat sesuatu, otaknya berpikir, melakukan interpretasi. Misalnya ketika melihat ceceran oli di jalan, muncul beberapa pertanyaan, “Mengapa ada ceceran oli?” “Bekas motor atau mobil?” dan seterusnya yang umumnya disertai jawaban dari dirinya sendiri.
Interpretasi itu sendiri merupakan bagian dari definisi kritik. Kata “kritik” dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Inggris (criticism), yang merupakan kata turunan dari bahasa Perancis (critique), yang mengambil dari bahasa Latin (criticus).
Lebih jauh, istilah tersebut telah muncul dalam bahasa Yunani (κριτικός) turunan dari kata Yunani Kuno (κριτής), yang bermakna memberikan pendapat yang berasalan, pertimbangan nilai, pengamatan, atau ‘interpretasi’.
Konotasi kritik masa kini mengarah pada sesuatu yang menghancurkan. Tak ayal, ketika seseorang mendapat kritik, ia cenderung merasa down. Bukan hanya karena isi kritik yang menjatuhkan, tetapi juga karena ia menganggap kritik sebagai suatu yang negatif.
Standar Ganda dalam Interaksi Sosial
Disadari atau tidak, orang banyak menerapkan standar ganda (double standard). Menurut Itsri, standar ganda adalah sebuah perilaku di mana seseorang memberikan penilaian, reaksi, perilaku, atau sikap yang berbeda kepada suatu kelompok (individu) tertentu pada kasus yang sama.
Dalam contoh sederhana, seorang perempuan yang menangis karena menonton film drama dianggap sebagai hal yang wajar. Tetapi ketika yang menangis adalah laki-laki, maka itu dianggap sebagai bentuk kelemahan.
Habib Ali Al-Jufri pernah mencontohkan bahwa dirinya pernah tidak sengaja dan tidak menyadari telah melakukan standar ganda. Di suatu malam, beliau berkesempatan melakukan dialog dan diskusi tentang Islam dengan beberapa pemuda. Di antaranya merupakan pengagum Lenin dan Stalin.
Sebagai syarat diskusi, Habib Ali al-Jufri menyampaikan bahwa diskusi harus dilakukan dengan mengedepankan fakta dan “kritik yang santun”. Di antara pengagum Lenin dan Stalin ada yang bertanya mengenai apa parameter kritik yang santun tersebut. Ia kemudian berkata,
“Apakah Anda mengizinkan saya menggambarkan sosok yang Anda anggap sakral itu (Nabi Muhammad saw) sebagai penipu dan tukang jagal, persis seperti cara Anda menggambarkan Lenin dan Stalin?”
Mendengar pertanyaan itu, Habib Ali al-Jufri merenung dan berpikir betapa dia telah menerapkan standar ganda. Sebab, sebelumnya beliau telah menggambarkan “… Lenin adalah seorang penipu, dan Stalin adalah tukang jagal.” Beliau pun segera memohon maaf kepada para pemuda tersebut (tulisan lengkapnya silakan baca buku Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan subbab Saya Seorang Fanatik!).
Ibda` bi Nafsik
Mulailah dari diri sendiri (ibda` bi nafsik) adalah pribahasa yang sering didengar di lingkungan pesantren. Banyak hal (kalau tak mau menyebut semua hal) sebaiknya dimulai dari diri sendiri, termasuk melakukan kritik. Jika seseorang tak siap menerima kritik, maka jangan melakukan kritik berlebihan yang dapat menjatuhkan orang lain, apalagi sampai menerapkan standar ganda.
Islam sendiri mengajarkan bagaimana diri sendiri adalah objek pertama dalam sebuah tindakan. Jika tak bisa, maka jadikanlah orang lain sebagai cermin, yang ketika kita memberikan kritik, kita pun juga menujukannya pada diri sendiri.
Dalam al-Qur’an surah al-Shaf[61]: 2-3 Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”
Selain itu, banyak yang tidak sadar bahwa dia sebagai pemberi kritik tidaklah lebih baik daripada orang yang dikritik. Dalam pertandingan sepak bola, contohnya, betapa banyak penonton yang berkata, “Harusnya diumpan… harusnya berlari ke sana…” dan sebagainya yang sering disertai dengan olokan dan caci-maki. Padahal, ketika si pemberi kritik berada di kondisi yang sama, bisa jadi keputusan dan hasil yang dibuatnya jauh lebih buruk.
Allah telah mengingatkan sikap ini dalam surah al-Hujurat[49]: 11 yang artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok)…”
Memulai dari diri sendiri adalah satu dan sekian banyak kunci kesuksesan perubahan yang baik. Betapa banyak program dan kebijakan pemerintah, misalnya, yang baik dan efisien tetapi pada akhirnya gagal karena tidak didukung oleh individu-individu di bawahnya. Misalnya, banjir di kota tidak akan teratasi kalau masih banyak orang yang membuang sampah ke sungai, kendati pemerintah telah melakukan berbagai pembangunan penanggulangan banjir.
Marilah melihat kembali pada satu ayat yang dihafal oleh banyak orang (sekurang-kurangnya pernah didengar) tentang perubahan. Allah berfirman,
“… Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka…” (QS. al-Ra’d[13]: 11).
Nabi Muhammad saw sendiri, dalam sebuah hadis yang cukup panjang, pernah menyatakan bahwa,
“… Barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah, dan hendaknya ia berperilaku kepada orang lain sebagaimana ia ingin orang lain berperilaku demikian kepadanya…” (HR. Muslim).
Apa yang disabdakan Nabi di atas tidak hanya muncul dalam ajaran tata laku sosial Islam. Agama-agama lainnya, bahkan dalam banyak peradaban terdahulu, juga mengajarkan hal yang sama. Inti ajaran sosial ini kemudian dikenal dengan istilah “Aturan Emas (Golden Rules)”.
Sebagai penutup, marilah kita simak dan renungkan kata-kata mutiara seorang sufi dan penyair besar Islam, Jalaluddin Rumi, tentang memulai dari diri sendiri:
“Kemarin aku orang yang pandai, maka ingin kuubah dunia. Hari ini aku orang yang bijaksana, karenanya ingin kuubah diriku sendiri.”
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini