Mengkaji Definisi Fiqh (I): Versi Abu Hanifah (w. 150 H)

Perdebatan perihal persoalan-persoalan keagamaan kerap kali terjadi di tengah umat Islam. Polemik internal yang terjadi juga tidak jarang berujung pada fenomena ketidakdewasaan dalam beragama dengan munculnya sikap merendahkan “yang berbeda”. Jika ditelusuri, hal-hal yang menyebabkan terjadinya fenomena beragama yang tidak dewasa ini biasanya berkaitan erat dengan perbedaan “pilihan” rujukan, baik itu dalam konteks ibadah maupun mu’amalah.

Secara konkret, polemik internal umat Islam tersebut bisa disaksikan setiap tahun di Indonesia. Dalam kasus ibadah misalnya, setiap kali bulan Ramadhan datang, umat Islam selalu mempertanyakan dan mempersoalkan—bahkan tidak jarang menjadikannya sebagai bahan perdebatan—perihal jumlah raka’at ibadah shalat Tarawih. Begitu pula dalam konteks mu’amalah, umat Islam di Indonesia masih terus menyoal perihal bunga bank apakah termasuk riba atau tidak.

Lantas pertanyaan yang muncul, apa yang menyebabkan perdebatan ini terjadi? Sebenarnya, apakah persoalan yang diperdebatkan memang menyediakan ruang untuk diperdebatkan? Kemudian, mengapa perdebatan yang menyulut polemik internal sesama umat Islam, khususnya di Indonesia, ini seakan tidak pernah selesai?

Merujuk pada dua contoh yang telah dihadirkan sebelumnya, persoalan Fiqh yang berporos pada persoalan ibadah dan mu’amalah masih menjadi aktor utama di balik lahirnya polemik internal umat Islam. Maka, pamahaman terhadap definisi Fiqh harus diurai secara komprehensif. Sebab, pemantik dari polemik-polemik yang lahir dalam tubuh umat Islam tidak bisa dipungkiri disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan mengenai hal-hal mendasar dalam keilmuan Islam itu sendiri.

Definisi Fiqh Versi Abu Hanifah (w. 150 H)

Di bagian awal dari magnum opusnya dalam genre Fiqh, Fiqh al-Islām wa Adillatuh (Dar al-Fikr, 1989: 15-16), Wahbah al-Zuhaili menulis bagian pengantar ilmu Fiqh (Muqaddimāt Dharūriyah ‘an al-Fiqh). Salah satu pembahasan yang ia urai secara mendetail di pengantarnya tersebut dan akan diulas ulang dalam tulisan ini ialah mengenai definisi dari Fiqh itu sendiri. Perlu diingat bahwa dalam pembahasan perihal definisi, khazanah Islam umumnya menyajikan definisi secara bahasa (etimologis) maupun istilah (terminologis).

Secara etimologis, Fiqh memiliki makna al-fahm (pemahaman/ memahami), baik pemahaman yang mendalam maupun masih terbatas pada kulit-kulitnya saja. Al-Zuhaili memperlihatkan beberapa contoh ayat dalam al-Qur’an yang menggunakan bentuk verba dari kata fiqh dalam bahasa Arab yang menunjukkan makna al-fahm. Seperti pada Q.S. Hud (11): 91 maupun Q.S. al-Nisa’ (4): 78.

Lalu secara terminologis, ada definisi populer yang dibawa oleh Wahbah al-Zuhaili. Penilaian populer ini berlaku khususnya bagi penekun studi Islam, khususnya Fiqh. Definisi pertama datang dari Abu Hanifah (w. 150 H). Ia mendefinisikan Fiqh sebagai pengetahuan tentang diri/ jiwa, hak maupun kewajibannya (ma’rifah al-nafs, mā lahā wa mā ‘alaihā). 

Kata ma’rifah (pengetahuan/ mengetahui) dimaknai sebagai pengetahuan terhadap pemasalahan juz’iy (parsial) melalui penelusuran terhadap dalilnya. Maka yang dimaksud di sini ialah pengetahuan yang telah menjadi kompetensi seseorang setelah melakukan aktivitas pengkajian berdasarkan penerapan satu kaidah atau teori dengan kaidah atau teori lainnya.

Menurut al-Zuhaili, definisi yang dikonsepsi oleh Abu Hanifah merupakan definisi general yang mencakup akidah, akhlak dan tasawuf serta ‘amaliyah, sehingga disebut juga dengan istilah “Fiqh Akbar”. Komposisi dari definisi Abu Hanifah ini tidak bisa dilepaskan dari konteks historis yang melingkupinya. Di masa Abu Hanifah, ilmu-ilmu syari’at tercakup dalam satu definisi dan istilah tersebut, sebab Fiqh—sebagai sebuah genre studi tersendiri—belum menjadi suatu disiplin ilmu mandiri sebagaimana yang dikenal saat ini.

Rumusan definisi Abu Hanifah selanjutnya direkonstruksi oleh para pengikut madzhabnya (hanafīyah). Mereka menambahkan kata ‘amalan (aktivitas praktis yang termasuk dalam kategori ‘amaliyah) untuk mengeluarkan akidah serta akhlak dan tasawuf dari cakupan istilah “Fiqh”. Modifikasi ini selanjutnya berimplikasi pada berdirinya Fiqh sebagai ilmu yang mustaqil (independen) dan khusus membahas persoalan ‘amaliyah, sementara kedua ilmu lainnya kemudian juga menjadi disiplin ilmu yang mandiri.

Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A., Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A.? Silakan klik disini