Memahami Agama Hanif melalui Khazanah Tafsir

Memahami agama hanif yang diajarkan Nabi Ibrahim bisa kita mulai dengan menghayati doa iftitah yang sering kita lantunkan di setiap awal memulai shalat,

اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ

Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Inilah deklarasi Nabi Ibrahim sewaktu beliau memperoleh jawaban atas pertanyaan ontologisnya tentang siapa Pencipta jagat raya yang berhak disembah.

Tulisan ini ingin mengkaji bagaimana penafsiran para ulama terhadap term hanif di dalam al-Qur’an. Ketika mendengar kata hanif, perhatian kita tidak bisa lepas dari kekasih Allah, Nabi Ibrahim as.. Posisi beliau dalam penegasan agama monoteisme begitu sentral. Beliau mengajarkan kita tentang pentingnya mendayagunakan akal ketika dalam masa pencarian Tuhan (Al-An’am: 76-78). Dari beliau pula tiga agama semitik (Yahudi, Nasrani, dan Islam) disandarkan, karena semuanya dibawa oleh keturunan Ibrahim.

Kembali ke pokok tulisan, bahwa kata hanif setidaknya disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali. 10 kali menggunakan kata hanifa, dan dua kali dengan kata hunafa’ (Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an)

Dari sisi bahasa, hanif sering diartikan sebagai lurus atau cenderung kepada sesuatu (Al-Baqarah:135). Ajaran Nabi Ibrahim adalah hanif, dalam arti tidak bengkok, tidak memihak kepada padangan hidup orang-orang Yahudi, tidak juga mengajak mengarah kepada agama Nasrani yang penganut-penganutnya juga mengajak kaum muslimin untuk memeluk agama mereka. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 2)

Salah satu ayat yang menarik untuk diteliti penafsirannya ialah bagaimana kesan al-Qur’an ketika menjelaskan posisi keagamaan Nabi Ibrahim. Seperti misalnya ayat 67 surat Ali Imran. “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang hanif lagi berserah diri (muslim). Dia bukan pula termasuk (golongan) orang-orang musyrik.

Kita lihat bagaimana Qur’an Kemenag menerjemahkan kata hanif di atas sebagai “jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan”. Hal ini kata Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar-nya karena di tengah bangsanya yang telah tersesat penyembah berhala, beliau tegak sendiri dengan pendirian sendiri, lagi muslim, yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa.  

Ayat 67 surat Ali Imran merupakan bantahan terhadap kaum Yahudi dan Nasrani yang mengklaim bahwa Nabi Ibrahim beragama Yahudi atau Nasrani. Padahal dari sisi sejarah, kehadiran dan wafatnya Nabi Ibrahim di pentas bumi ini jauh sebelum kedua agama itu datang. Bahkan, dalam catatan Buya Hamka, orang Arab yang menyembah berhala pun ikut mengklaim beragama hanif. Padahal jelas-jelas mereka membangun ratusan berhala di dalam dan sekitar Kakbah—bangunan kubus yang dibangun Nabi Ibrahim. 

Orang Yahudi dan Nasrani merasa diri mereka lebih dekat dengan Nabi Ibrahim as. terutama karena mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim melalui putranya Nabi Ishaq. Memang, Nabi Muhammad juga keturunan Nabi Ibrahim, akan tetapi dari putra beliau, Ismail. Sedangkan Ismail tidak mereka anggap sebagai kelanjutan dari Ibrahim atau anaknya yang memiliki kedudukan yang penuh, karena ibunya, yakni Hajar adalah budak belian, bahkan budak dari ibunya Ishaq, yakni Sarah, yang merupakan putri bangsawan (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 2).

Dari sinilah Islam, melalui al-Qur’an, datang untuk meluruskan anggapan-anggapan dan klaim-klaim Yahudi dan Nasrani. Bahwa bukan hanya karena kedekatan keturunan yang menjadikan mereka “penerus estafet” Nabi Ibrahim. Akan tetapi, siapapun yang mengikuti prinsip dari ajaran Nabi Ibrahim. Dalam hal ini ajaran-ajaran Islam—di samping mengesakan Allah—seperti khitan, kurban, haji, pengagungan Baitullah, dll. semuanya bersumber dari Nabi Ibrahim. Bahkan, menurut kesaksian Nabi Muhammad setelah turun dari mi’raj, fisik dan kesamaan rupa beliau dengan Nabi Ibrahim sangat dekat (Quraish Shihab, (Tafsir al-Misbah Volume 2).

Itulah mengapa dalam ungkapan Nabi melalui riwayat Imam Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata, 

إنّ لكلّ نبيّ وُلاة من النّبيين, وإنّ وليّي أّبي وخليل ربِّي, ثمّ قرأ (اِنَّ اَوۡلَى النَّاسِ بِاِبۡرٰهِيۡمَ لَـلَّذِيۡنَ اتَّبَعُوۡهُ وَهٰذَا النَّبِىُّ وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا​ؕ وَاللّٰهُ وَلِىُّ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ‏ ٦٨)

“Sesungguhnya setiap Nabi memiliki para sahabat dekat dari golongan para Nabi, dan sahabat dekatku adalah bapakku dan kekasih Tuhanku (Nabi Ibrahim). Kemudian beliau membaca ayat 68 dari surat Ali Imran di atas.”

Nabi Muhammad tidak berhenti dengan ungkapan bahwa Nabi Ibrahim seperti ayahnya sendiri. Akan tetapi beliau melanjutkan ungkapannya dengan ayat 78 surat Ali Imran yang bermakna “Orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang yang mengikutinya, dan Nabi ini (Muhammad), dan orang yang beriman. Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman.” (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir Jilid 2)

Zaimul Asroor. M.A., Dosen IAI Khozinatul Ulum dan Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini