Dewasa ini, hate speech atau ujaran kebencian sangat mudah dijumpai. Terlebih di dunia maya yang pelakunya bisa merasa aman karena jarak dan tidak adanya saling mengenal. Dalam kehidupan nyata, kasus penganiayaan dan pembunuhan juga tidak sulit untuk dicari media online.
Tidak jarang kasus penganiayaan dan pembunuhan ini berawal dari rasa sakit hati yang berlarut sehingga mengganggu kesehatan mental pelakunya. Ia sudah tidak kuat lagi menghadapi tekanan hidup, tidak mampu berpikir jernih dan pada akhirnya mengambil keputusan yang keliru.
Kesehatan mental merupakan kondisi dimana seseorang mampu menyadari potensinya, mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupan, bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta memberikan kontribusi pada komunitasnya.
Kesehatan mental menjadi aspek penting dari kesejahteraan seseorang secara keseluruhan. Karena dapat mempengaruhi cara berpikir, merasa, dan berperilaku. Ketika kesehatan mental terjaga, seseorang lebih mampu menghadapi stres, menjaga hubungan yang sehat, dan membuat keputusan yang baik dalam kehidupannya.
Kesejahteraan diri bermula dari ketenangan jiwa dalam berbagai situasi dan kondisi; baik senang maupun sedih, mudah maupun sulit. Semuanya sama bagi mereka yang sudah berhasil memiliki ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa yang menjadi representasi utama kesehatan mental ini oleh Al-Qur’an dibahasakan dengan sakinah.
Hati menjadi muara tunggalnya sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Fath: 4 dan 18. Oleh karenanya ketenangan jiwa juga dikenal dengan sebutan kesehatan hati atau batin. Jika dalam film animasi Kungdu Panda 3, ia disebut dengan inner peace.
Dengan menjalani pola hidup sehat, termasuk olah raga teratur, tidur yang cukup, dan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, seseorang dapat memperkuat kondisi mentalnya. Selain itu, berbicara dengan orang terpercaya atau profesional saat menghadapi masalah juga menjadi langkah penting dalam menjaga kesehatan mental. Selain itu, ada satu usaha batin lainnya yang sangat dianjurkan oleh Islam, yakni memaafkan.
Definisi memaafkan dan istilah terkait
Pada bagian ‘ain, fa’, dan huruf ketiga, Ibnu Faris menuliskan al-‘afw yang tersusun dari ‘ain, fa’, dan huruf ’ilat. Ketiga huruf ini memiliki dua makna; meninggalkan sesuatu dan mencarinya. Dari tiga huruf ini muncul kata ‘afw (tidak menghukum kesalahan atas dasar legowo), ‘afiyah (mencegah sesuatu yang tidak diinginkan) dan beberapa kata lainnya (Mu’jam Maqayis Lughah: 4; 56-61).
Sementara itu, Ragib al-Asfahani mendefinisikan term al-‘afw dengan menyengaja untuk memperoleh sesuatu (Mufradat li Alfaz al-Qur’an; 574). Mengenai ‘afiyah yang seakar dengan al-‘afw, Ibn Manzhur juga menyebutkannya dan mengartikannya dengan ‘sehat dari rasa sakit atau musibah’ (Lisan al-‘Arab: 3018). Dari dua kata yang masih memiliki hubungan ini, dapat disimpulkan bahwa memaafkan itu menyehatkan.
Memaafkan dalam Al-Qur’an
Oleh Al-Qur’an, perbuatan yang lebih kita kenal dengan memberi maaf kepada orang lain disebut dengan al-‘afw. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi menemukan kata ini dalam Al-Qur’an – dengan berbagai bentuknya – sebanyak 35 kali (Mu’jam Mufahras; 466). Abdus Sabur Marzuq (Mu’jam al-A’lam wa al-Maudu’at fi al-Qur’an: 933) mengklasifikasikan ayat-ayat tentang memaafkan ini ke dalam enam bagian.
Pertama, salah satu sifat Allah. Terdapat 16 ayat yang bisa temukan tentang sifat Allah yang harus kita teladani dalam kehidupan ini. Kedua, ajakan untuk memaafkan. Pada bagian ini ada empat ayat yang diantaranya adalah QS. Asy-Syura: 40. Ketiga, memaafkan dapat menghapus hak. Jika dikiaskan, dari QS. Al-Baqarah: 237 yang disebutkannya bisa ditarik kesimpulan bahwa memaafkan dapat menggugurkan dosa orang yang berbuat salah.
Keempat, Nabi diperintahkan untuk memaafkan. Salah satu ayatnya adalah QS. Ali Imran: 159. Dan sudah menjadi pemahaman bersama bahwa perintah yang ditujukan kepada Nabi juga ditujukan pada umatnya. Kecuali jika ada indikasi yang mengarah pada perintah khusus seperti QS. Al-Ahzab: 50 tentang pasangan hidup bagi Nabi. Kelima, pujian dan janji indah bagi pemaaf. Dalam QS. Ali Imran: 133-134 Allah menjadikan sifat pemaaf sebagai salah satu karakter orng bertakwa.
Selain itu, Dia menjanjikan surga seluas langit dan bumi bagi mereka yang memaafkan orang lain. Keenam, harta yang lebih (fudlul al-mal). Term al-‘afw juga digunakan untuk menunjuk pada harta yang tersisa setelah kebutuhan terpenuhi. Sebagaimana informasi QS. Al-Baqarah: 129, ia menjadi harta yang tepat untuk diinfakkan. Tentunya karena aneka kebutuhan telah terpenuhi sementara masih ada harta yang tersisa di tangan. Bisa jadi ia akan hilang atau dicuri sehingga menjadi milik orang lain. Namun dengan menginfakkannya, keberadaanya akan menjadi hak miliknya yang langgeng sampai akhirat nanti.
Manfaat memaafkan bagi kesehatan mental
Dari definisi al-‘afw yang disampaikan oleh Ragib al-Ashafani, sudah tergambar jelas bahwa yang akan mendapatkan manfaat dari memaafkan adalah si pemberi maaf yang menjadi korban kesalahan. Bukan mereka yang bersalah. Memang, yang bersalah menjadi terbebas dari dosa. Tapi itu diakhirat nanti. Adapun dalam kehidupan sekarang, ia tidak bisa lepas dari rasa iri dengki yang meliputi hati pikirannya. Ia akan selalu merasa tertinggal, kalah, dan kurang.
Kondisi psikis yang sangat tidak menguntungkan. Sementara itu, mereka yang telah memaafkan kesalahan saudaranya akan merasa lega hatinya karena tidak ada rasa marah ataupun dendam yang bersemayan di sana. Hidupnya akan terasa ringan dan menyenangkan. Di akhirat nanti, ia akan memanen pahala yang Allah rahasiakan dari hamba-Nya (QS. Asy-Syura: 40).
Memang benar, Islam mempersilahkan umatnya untuk membalas keburukan orang lain. Namun balasan tersebut harus sepadan dengan keburukan yang diterimanya (QS. al-Baqarah: 194 dan an-Nahl: 126). Namun, bukankah pemabalasan yang setimpal ini merupakan sesuatu yang teramat sulit untuk diukur? Islam tidak ingin manusia berlaku aniaya satu sama lain.
Sebab, hal itu akan meruntuhkan sendi-sendi kerukunan dan ketenangan hidup bermasyarakat. Oleh karenanya, Islam lebih menganjurkan umatnya yang dianiaya untuk memaafkan. Dan ketika mereka berbuat aniaya, Islam menyuruh mereka untuk bersegera meminta maaf. Tujuannya tidak lain untuk mencapai kehidupan yang rukun, tenang dan bahagia.
Pribadi yang mudah memaafkan tidak akan memasukkan ucapan atau perilaku menyakitkan ke dalam hati. Jika ucapan itu berupa tuduhan yang tidak benar, ia akan memaafkan pelakunya dan menganggapnya sebagai angin lalu. Dan jika benar adanya, ia akan menjadikannya sebagai bahan renungan untuk mengevaluasi diri.
Bahkan, sudah seyogyanya ia berterima kasih. Karena sudah diberi tahu kekurangannya yang ia sendiri belum atau tidak berhasil menemukannya. Dan pada akhirnya ia akan menjadi sosok yang lebih baik lagi. Dan jika yang aniaya tadi belum bertaubat, hal ini akan membuatnya semakin tersiksa karena rasa benci yang menguasainya.
Ada satu hadis Nabi yang banyak dihafal oleh anak kecil. “Jangan marah bagimu surga”. Melalui hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tabrani ini, Nabi ingin berpesan kepada umatnya supaya mereka menjadi pribadi yang tidak mudah marah dan pemaaf. Nabi menjanjikan surga bagi umatnya yang berhasil menjalankan pesannya tersebut. Secara harfiyah, mereka akan mendapatkan balasan surga di akhirat nanti. Namun demikian, aroma surga tersebut bisa dirasakan sejak di dunia.
Sebagaimana diketahui, surga merupakan tempat lahirnya ketenangan. Bagaimana tidak? Penghuni surga tidak akan pernah merasakan lapar dan dahaga yang membuat seseorang tidak bertenaga, telanjang yang memunculkan rasa malu, dan kepanasan yang tidak jarang membuat seseorang mudah tersulut emosi (QS. Thaha: 118-119). Kondisi tenang inilah yang akan dirasakan oleh mereka yang tidak mudah marah dan memaafkan kesalahan saudaranya.
Ia akan menjadi pribadi dengan kesehatan mental yang bagus dan tangguh. Hiruk pikuk dunia akan diterimanya sebagai bentuk kasih sayang Allah Yang Mahatahu dan Maya Penyayang. Ia akan senantiasa berprasangka baik kepada-Nya. Tidak ada ketetapan-Nya yang bernilai negatif.
Semuanya demi kebaikan dirinya dan umat manusia. Selain itu, gangguan orang lain tidak akan pernah menjadi batu sandungan yang membuatnya sakit hati dan berhenti melangkah. Sebaliknya, kesalahannya tersebut akan menjadi pemicu baginya untuk semakin baik dan berkualitas. Itulah pribadi yang diinginkan oleh Islam; pribadi yang kaffah dalam penyerahan diri. Wallahu A’lam.
Syafi’ul Huda, S.Pd.I.,M.Ag., Ustadz di cariustadz.id
Tertarik mengundang Syafi’ul Huda, S.Pd.I.,M.Ag.? Silakan Klik disini