Siapapun boleh ikut merayakan lebaran. Lengkap dengan pernak perniknya. Baju baru, mudik, serah terima ‘amplop’, berwisata, dan lain sebagainya. Ini adalah tradisi turun menurun sejak dahulu di masyarakat kita. Jika tidak bertentangan dengan syariat, kenapa disikat. Mempertahankan adat yang baik, bahkan selaras dan mendukung syiar agama, selayaknya menjadi kebiasaan. Insya Allah ada pahalanya jika lillahi ta’ala.
Berbeda dengan adat yang bertentangan dengan syariat di hari lebaran. Hingar bingar dalam euforia lebaran dengan berjoget ria. Menghamburkan uang untuk hal yang sia-sia dan lain sebagainya. Dalam hal ini, harus dihindari. Karena sejatinya kita dapat membiasakan yang benar, namun tidak ‘selamanya’ dapat membenarkan yang biasa.
Apalagi tidak dapat membedakan antara tradisi dan agama sehingga dipukul rata. Jika ‘tradisi’ itu tidak terjadi pada masa nabi dan sahabatnya, maka dihukumi bidah. Inilah salah satu indikator yang menyamakan tradisi dengan agama.
Adapun idul fitri merupakan istilah agama. Bukan term tradisi yang bermula dari adat dan budaya. Idul Fitri secara bahasa berarti kembali berbuka. Setelah sebulan, di siang hari Ramadan berpuasa, maka idul fitri sebagai penanda kembali berbuka di siang hari.
Idul Fitri juga dapat berarti kembali fitrah. Sesuai awal penciptaan. Bersih dan suci. Ini dapat dipahami karena sebulan lamanya, siang dan malam kita ‘dididik’ untuk menjadi manusia bertakwa. Puasa di siang hari, qiyamullail (antara lain salat tarawih) di malam hari menjadi upaya proses peleburan dosa. “Siapa yang berpuasa Ramadan dengan iman dan berharap pahala, maka dosa-dosanya yang lalu akan diampuni.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dalam riwayat yang lain, “Siapa yang qiyamullail Ramadan (tarawih dll.) dengan iman dan berharap pahala, maka dosa-dosanya yang lalu akan diampuni.”
Hal ini sejalan dengan makna Alquran Surah Baqarah ayat 183. Bahwa manusia beriman diperintahkan berpuasa agar bertakwa. Puncaknya adalah ‘makna’ akhir Surah al Baqarah ayat 185 agar kita menyempurnakan hitungan Ramadan untuk memasuki idul fitri, menggemakan takbir atas anugerah Allah ini sebagai tanda kita mensyukurinya.
Dari bagian akhir renungan ini, kita dapat mengilustrasikan dengan potret kehidupan sekarang. Ketika dana bansos diturunkan oleh pemerintah, misalnya, tentu hanya warga yang tercantum di daftar penerimalah yang berhak mendapatkannya. Jika kita tidak ada di database penerima, kita tidak akan mendapatkan bansos itu meski kita mendatangi tempat pembagiannya.
Demikian pula saat idul fitri tiba. Mereka yang tercantum dalam database orang-orang berimanlah yang mendapat anugerah ini. Namun bagi mereka yang tidak berpuasa (dengan sengaja, bukan karena uzur), sesuai makna sebelumnya, tidak mendapat anugerah idul fitri. Kendati begitu, mereka masih bisa berlebaran. Tentunya ekspresi keceriaan, saling bermaafan, melakukan kunjungan silaturahim, berbagi rezeki dalam berlebaran, juga menjadi poin tradisi yang membuahkan pahala insya Allah.
Taqabbalallahu minna waminkum. Wallahu a’lam.
Mahfud Hidayat, Lc., S.S.I, M.E.I, Ustadz di cariustadz.id
Tertarik mengundangĀ Mahfud Hidayat, Lc., S.S.I, M.E.I? Silakan KlikĀ disini