الحمد لله الحمد لله نحمده نستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهد الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له شهادة تنجينا من العذاب يوم لا ينفع ولا بنون إلا من أتى الله بقلب سليم وأشهد أن سيدنا ونبينا محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح الأمة وكشف الله بيده الغمة اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا وحبيبنا ومولنا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعين.
عباد الله أوصيكم وإياي نفسي بتقوى الله وطاعته، اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
Ma’âsyral muslimin rahimakumullah, marilah pada kesempatan yang penuh bahagia dan keberkahan ini, kita selalu berupaya meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah swt. Sebab hanya dengan berbekal keimanan dan ketakwaan yang berkualias, kita akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup di dunia dan akhirat.
Akhir-akhir ini ada fenomena yang cukup membahagiakan dan menggembirakan. Perhatian umat Islam terhadap al Qur’an begitu sangat tinggi. Berbagai ajang perlombaan musabaqah tilawatil qur’an, musabaqah hifzil qur’an, membaca, menghafal al-Qur’an, digelar di berbagai tingkat, mulai dari kecamatan sampai tingkat internasional. Tidak jarang, para qari’, para hafiz Indonesia pun unggul dalam berbagai musabaqah-musabaqah tersebut. Dan kalau kita perhatikan peredaran mushaf al Qur’an yang ada di Indonesia baik dalam versi cetak maupun versi digital, mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Satu hal menunjukkan bahwa perhatian umat Islam terhadap al-Qur’an cukup menggembirakan dan membahagiakan.
Kita pun sebagai orang tua, juga berlomba-lomba untuk memasukkan anak-anak kita ke lembaga-lembaga pendidikan Islam yang di situ ada pelajaran tahfiznya. Bahkan para orang tua berbangga ketika sang anak berhasil memperdengarkan hafalan beberapa surat atau juz dalam al-Qur’an.
Memang, tidak ada kitab apapun di dunia ini, termasuk kitab suci apapun di dunia ini, yang mendapat perhatian melebihi apa yang biberikan umat Islam terhadap al Qur’an. Baik dari segi bacaan, maupun dari segi hafalan ataupun kajian dan pengamalan. Bahkan dalam rangka memuliakan al-Qur’an, semua itu dilakukan dalam rangka memuliakan al-Qur’an.
Bahkan dalam rangka memuliakan al-Qur’an para ulama menetapkan dalam hal bacaan pun harus memperhatikan fashahah, harus memperhatikan kaedah-kaedah ilmu tajwid yang semuanya itu adalah untuk menjaga kesucian al Qur’an, agar al Qur’an yang dibaca itu adalah seperti halnya al Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Malaikat lalu diteruskan kepada Rasulullah saw dan selanjutnya kepada para sahabat dan umatnya. Atas dasar itulah para ulama menetapkan kaedah-kaedah bacaan ilmu tajwid dalam al Qur’an.
Al Imam Ibnul Jazari, seorang paham dan pakar al Qur’an menyatakan dalam satu nazaman, dalam satu karangannya mengatakan bahwa
الأخذ بالتجويد حتم لازم # من لم يجود القرآن فهو أثم
Membaca al-Qur’an dengan ilmu tajwid itu adalah satu keharusan sebuah keniscayaan. Dan barang siapa membaca al-Qur’an tanpa memperhatikan kaedah ilmu tajwid maka dia sudah berdosa. Karena dengan bacaan yang tidak memperhatikan ilmu tajwid, akan berpotensi mengakibatkan perubahan redaksi, perubahan huruf, yang berakibat pada perubahan makna. Untuk itulah para ulama menekankan pentingnya ilmu tajwid.
Dalam rangka memuliakan al-Qur’an, Rasulullah saw menganjurkan umatnya untuk memperindah, memperbagus bacaan al-Qur’an. hassinû ashwâtakum bi al Qur’ân (perindahlah suaramu dengan al Qur’an). dalam riwayat yang lain Beliau mengatakan zayyinû al Qur’âna bi ashwâtikum (hiasi al Qur’an itu dengan bacaanmu yang indah).
Rasulullah saw. pun senang mendengarkan bacaan para sahabatnya yang bersuara indah. Klan al Asy’ari, kabilah al Asy’ari di Jazirah Arab, itu terkenal dengan para qari para pembaca al-Qur’an yang memiliki suara merdu. Abu Musa al Asy’ari, salah seorang sahabat Rasulullah saw. itu adalah seorang qari’ yang mempunyai suara merdu. Dan Rasulullah saw. senang sekali mendengarkan bacaan al-Qur’an dengan suara yang merdu dari Abu Musa al Asy’ari. Bahkan Beliau dalam satu kesempatan memuji dan memberikan apresiasi kepada sahabat ini dengan mengatakan bahwa “anda telah diberi oleh Allah swt. seruling, suara yang indah seperti yang pernah diberikan kepada Nabi Dawud dan keluarganya”. Nabi Dawud dalam sejarah, dikenal sebagai salah seorang nabi yang sering sekali melantunkan pujian, doa-doa, yang terkandung dalam Kitab suci Zabur dengan suara yang merdu. Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Nabi Dawud as. sering melantunkan itu dengan hampir tujuh puluh nada dan irama bacaan yang bervariasi.
Atas dasar anjuran inilah, maka tradisi membaca al-Qur’an dengan suara yang merdu dengan suara nada dan irama yang indah dilakukan oleh umat Islam. Penyebaran umat Islam di beberapa wilayah Persia, jazirah Arab dan seterusnya memungkinkan para sahabat dan umat Islam untuk mengembangkan jenis-jenis nada dan bacaan seperti yang kita kenal dalam nagham dalam bacaan qari’-qari’ yang indah dengan nada irama yang seperti kita kenal sekarang. Ada yang disebut dengan bayati, ada yang disebut dengan shoba, ada yang disebut dengan jiharka dan seterusnya. Nada dan irama ini mereka temukan sebagai hasil penghayatan terhadap makna-makna al-Qur’an. Oleh karena itu, mereka selalu menyesuaikan ketika ayat-ayat yang dibaca itu bernuansa azab, bernuansa kepedihan, bernuansa suasana yang mencekam karena peristiwa Kiamat dan lain sebagainya maka nada yang dipilih oleh mereka adalah nada shoba misalnya. Ketika ayat sebaliknya, ketika ayat-ayat itu berisikan tentang kehidupan di sorga berbagai karunia nikmat Allah swt., maka nada yang mereka pilih adalah nada atau irama atau nagham nahawan. Nagham, nada, irama yang diciptakan itu untuk menyesuaikan makna, pesan-pesan dari ayat yang sedang dibaca itu. Jadi nagham, nada, irama dalam bacaan al-Qur’an itu dipilih berdasarkan makna bukan hanya karena ingin mementingkan lagu ataupun nada irama ataupun sekedar ingin melantunkan al-Qur’an dengan irama-irama tertentu.
Oleh karena itu, dalam perdebatan, dalam polemik yang sudah hampir satu minggu ini, media sosial diramaikan oleh pandangan yang mengatakan tentang bacaan al-Qur’an berlanggam Jawa antara pro dan kontra, kita harus bisa menyikapinya dengan arif. Kita harus bisa membedakan mana yang disebut dengan ajaran agama, mana yang disebut dengan budaya dan kebiasaan. Membaca al-Qur’an sesuai dengan tuntunan, sesuai dengan kaedah ilmu tajwid, itu adalah sebuah keharusan; wa rattili al Qur’âna tartîla (bacalah al Qur’an dengan tartil) sesuai dengan makhraj-nya sesuai dengan kaedah ilmu tajwid panjang pendeknya. Zayyinû al Qur’âna bi ashwâtikum (hiasi al Qur’an dengan suaramu) itu ajaran agama. Lalu bagaimana memperindah bacaan, apakah langgam A, atau langgam B, itu adalah bagian dari budaya, itu bagian dari kebiasaan, yang oleh karena itu memungkinkan untuk timbulnya berbagai langgam, nada, irama bacaan. Dan itu tidak bertentangan dengan kesucian al Qur’an selama diperhatikan ilmu tajwid, selama diperhatikan makhârij al hurûf, selama menggunakan nada itu adalah dalam rangka mengekspresikan makna-makna yang terkandung dalam pesan al-Qur’an yang sedang dibacakannya itu.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, kalaulah membaca al-Qur’an dengan ilmu tajwid itu adalah sebuah keharusan. Atau tajwid bacaan itu adalah sebuah keharusan. Dan memperindah bacaan al qur’an dengan nada irama dengan nagham dengan langgam apapun, yang menurut al Imam al Syafi’i ra. ketika menjelaskan hadis yang mengatakan Zayyinû al Qur’âna bi ashwâtikum, hassinû al Qur’ân bi ashwâtakum, beliau mengatakan yuhassinu shoutahu bi ayyi wajhin kâna (dia bisa memperindah memperbagus suaranya dalam membaca al-Qur’an dalam bentuk langgam apapun).
Itu semua ditekankan; suara yang indah, makhârij al hurûf yang pas, ilmu tajwid yang tepat, belumlah cukup dalam kita berinteraksi dengan al-Qur’an. Sesungguhnya ada yang jauh lebih penting dari sekedar memperhatikan tajwid bacaan, atau langgam bacaan. Yaitu bagaimana kita memperindah dan memperbagus tingkah laku, perbuatan, dan amalan kita sesuai dengan ajaran al-Qur’an. Ada yang jauh lebih penting dari sekedar tajwid bacaan yaitu tajwid atau memperindah, memperbagus amalan kita sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, inna hâdzâ al qur`âna yahdî li al latî hiya aqwamu (QS. al Isra: 9). Al-Qur’an ini diturunkan oleh Allah swt sebagai petunjuk ke jalan yang lurus, ke jalan kebenaran, ke jalan yang akan memberikan kebahagiaan kepada kita.
Sudah sepatutnya kita meningkatkan kelas dan kedudukan kita dari sekedar hanya memperhatikan bacaan al-Qur’an dan tahsin, tajwid, tilawah ataupun dari segala pilihan langgam, nada, irama bacaan, kita meningkatkan diri untuk lebih memperindah dan memperbagus amalan kita agar sesuai dengan tuntunan al-Qur’an. Sebab krisis keberagamaan yang kita alami sekarang ini antara lain disebabkan adanya kesenjangan yang begitu sangat tinggi antara nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan praktik kehidupan umat Islam dan masyarakat secara umum. Ajaran al-Qur’an dan hadis begitu sangat mulia tentang kebersihan, tentang kesehatan, tentang ketepatan waktu dan lain sebagainya, tetapi perilaku umat Islam belum mencerminkan nilai-nilai tersebut.
Ajaran al-Qur’an begitu sangat mulia menjelaskan bahwa Islam dan umat Islam itu adalah ajaran, agama, dan umat pilihan yang disebut dengan khaira ummatin, umat yang terbaik, umat pilihan. Tetapi pada kenyataannya ajaran yang disebut rahmatan li al ‘âlamîn ternyata belum lagi mencerminkan Islam yang penuh dengan keramahan, Islam yang menghargai keragaman, Islam yang menghargai perbedaan pandangan, Islam yang menghormati asas-asas dan hak-hak manusia sepenuhnya. Belum terlihat Islam dan umat Islam yang seperti itu. Ada kesenjangan antara nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan perilaku umat Islam. Oleh karena itu, dengan meningkatkan kualitas amalan kita melalui tajwid amalan, kita berharap kesenjangan itu semakin dekat, semakin tipis, dan bila perlu dan seharusnya itu yang kita lakukan adalah bahwa apa yang kita ucapkan, apa yang kita lakukan, apa yang kita fikirkan sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an maupun sunnah.
Survei tentang keidupan atau keberagamaan umat Islam masih menunjukkan suasana yang memprihatinkan. Sebuah survei tentang how islamic a islamic countries, seberapa islami-kah sesungguhnya negara-negara islam itu, masih menunjukkan bahwa Indonesia dengan mayoritas muslim terbesar masih berada pada rangking yang terbawah. Belum ada kesesuaian antara perilaku umat Islam terutama Indonesia, dalam perilaku ekonomi, perilaku politik, perilaku dalam tata kelola pemerintahan, perilaku sosial, dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam al Qur’an. Apakah kita termasuk kaum yang dulu pernah dikeluhkan oleh Rasulullah saw. dan itu direkam di dalam al Qur’an yang mengatakan
وقال الرسول يا رب إن قومي اتخذوا هذا القرآن مهجورا (الفرقان: 30)
Dulu Rasulullah pernah mengeluh dan itu direkam di dalam al-Qur’an. Wa qâla al raûlu dan Rasul berkata, inna qaumî ittakhadzû hâdza al qur`âna mahjûran ‘sesungguhnya kaumku ini telah menjadikan al Qur’an terabaikan’. Mengabaikan al-Qur’an bukan hanya dengan tidak membaca atau menghafalnya. Tetapi tidak mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an, itu juga disebut ittakhadzû hâdza al qur`âna mahjûran ‘telah menjadikan al Qur’an terabaikan’.
Penting untuk kita renungkan dalam situasi dan kondisi sekarang ini apa yang pernah diingatkan oleh salah seorang sahabat, Abdullah bin Mas’ud kepada murid Beliau, yang mengatakan
إنك في زمان قليل قراءه كثير فقهاءه يُحفظ فيه حدود القرآن ويضيع حروفه قليل من يسأل كثير من يعطي يطيلون فيه الصلاة ويقصرون فيه الخطبة
Anda sekarang ini – kata Ibn Mas’ud kepada muridnya – sekarang ini berada pada saat qari’nya itu sedikit tetapi orang yang alim, orang yang ahli al-Qur’an itu banyak. Hukum-hukum al-Qur’an ditegakkan walaupun bacaannya jarang dibaca. Yang bertanya sedikit, yang memberi banyak. Dalam salat mereka memperpanjang bacaan, dalam khutbah dipersingkat.
Saya`tî zamânun – kata Ibnu Mas’ud – akan datang suatu masa nanti, Katsîrun qurrâ`uhû qalîlun fuqahâ`uhû, ,yang membaca al Qur’an itu banyak, yang menghafal al Qur’an itu banyak, tetapi yang ahli di bidang al Qur’an, yang memahami al Qur’an dengan baik dan benar sedikit,. Yuhfazhu fîhi hurûf al Qur`âni huruf-huruf, ‘kalimat-kaimat al Qur’an memang dibaca dan dihafal’. Tetapi wa yudhayya’u hudûduhû ‘hukum-hukumnya tidak ditegakkan’. Katsîrun man yas`al ‘yang bertanya itu banyak’, wa qalîlun man yu’thî ‘tetapi yang memberi itu sedikit’. Yuthîlûna al khuthbata wa yaqshurûna al shalâta ‘mereka mempersingkat bacaan dalam sholat. Tetapi dalam berkhutbah dan berceramah diperpanjang. Hawa nafsu mereka lebih menonjol daripada amaliyahnya.’
Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba Allah swt. yang memuliakan al-Qur’an, mulai dari bacaannya sampai kepada amalannya.
—
Disampaikan oleh Dr. Muchlis M. Hanafi pada Jumat, 29 Mei 2015 di pelataran Masjid di kompleks Eat Republic, Pondok Cabe, Tangerang Selatan.