Hukum Pernikahan Anak dalam Islam

Pernikahan anak merupakan pernikahan yang dilaksanakan oleh anak di bawah umur baik itu dari pihak laki-laki, perempuan maupun keduanya. Pernikahan anak marak terjadi di kalangan para remaja yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti pendidikan, ekonomi, budaya, dan lainnya. 

Diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan telah membuat batas minimal menikah pada laki-laki dan perempuan adalah usia 19 tahun.

Fenomena pernikahan anak di bawah umur pada kenyataannya masih terjadi hingga saat ini. Berdasarkan data UNICEF, Indonesia menduduki peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan jumlah pernikahan anak terbanyak. 

Dampak bagi Perempuan

Pernikahan anak merupakan salah satu bentuk tindak ketidaksetaraan terhadap perempuan. Sekalipun di dalam kitab fikih tidak dijelaskan batasan umur perempuan boleh dinikahkan. Terkadang karena tidak adanya kejelasan seperti ini, timbullah sebuah pemaksaan dari orang tua kepada anaknya untuk menikah meskipun usianya yang belum mencapai dewasa atau baligh. Berbagai alasan yang muncul seperti agar lebih menghindari diri dari kemaksiatan dan sebagainya.

Pernikahan anak memiliki potensi sebagai penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan, misalnya penghilangan masa muda dan rentannya kesehatan reproduksinya. Ditinjau dari segi kesehatan, perempuan yang melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia <20 tahun berisiko 2,41 kali lebih besar untuk menderita kanker serviks dibandingkan dengan mereka yang melakukan hubungan seksual pertama pada usia >20 tahun. Ketidakmatangan serviks secara biologis pada usia muda tersebut dapat menjadi faktor risiko terjadinya kanker serviks. Bahaya kanker ini yaitu dapat menyerang bagian dinding rongga vagina yang disebabkan oleh adanya aktivitas seksual yang terjadi pada usia dini.

Adapun secara sosiologis, umur yang masih rendah memungkinkan kedua pasangan belum memiliki pemikiran yang ‘mapan’ dalam menghadapi persoalan hidup. Bagaimanapun, tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Tujuan tersebut bisa diperoleh jika kedua belah pihak (bukan hanya laki-laki) yang memiliki kesiapan mental dan fisik yang mantap. Kesiapan inilah yang biasanya berlaku ketika umur atau usia telah cukup. Oleh karenanya jika tujuan dari pernikahan anak tidak mencapai standar tujuan dari sebuah pernikahan, maka sebaiknya pernikahan ini tidak terjadi dan menunggu sampai tiba pada umur dewasa.

Selain itu, seseorang yang menikah di usia anak, terutama perempuan dengan tanggung jawab sebagai istri akan keluar dari program wajib belajar. Hal tersebut menyebabkan ia tidak memiliki keterampilan untuk bekerja. Sehingga sulit mengakses sumber ekonomi dan membuatnya menjadi miskin, mentalnya tidak stabil, dan beresiko terhadap problem-problem sosial. 

Para Ulama Berbeda Pendapat

Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, fisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, sama seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis.

Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.

Asal hukum nikah pada dasarnya adalah sunah. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam memberikan batasan umur untuk seorang anak dapat melangsungkan pernikahan dalam ijtihadnya masing-masing.

Pernikahan menurut madzhab Syafi’i, termasuk bagi yang sudah dewasa, menjadi makruh hukumnya, ketika yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dipikul dalam kehidupan sebagai suami istri dan masih bisa menahan diri dari berbuat zina.

Begitu juga bagi laki-laki yang tidak berkeinginan menikah dan tidak pula mempunyai kemampuan memberikan mas kawin dan nafkah.

Apabila dia mempunyai kemampuan atas biaya-biaya tersebut. Tetapi pada saat yang sama dia tidak mempunyai alasan yang mengharuskannya untuk menikah. Bahkan sebenarnya dia lebih menyukai ibadah, maka sebaiknya tidak menikah, agar ibadahnya tidak terganggu.

Pada hakikatnya pandangan madzhab Syafi’i tersebut sebenarnya juga menjadi komitmen para madzhab fiqh yang lain. Semuanya sepakat bahwa pernikahan dimaksudkan untuk suatu kemaslahatan atau kebaikan semua pihak yang terkait.

Madzhab Maliki, bahkan mengharamkan pernikahan seorang laki-laki yang masih bisa menjaga dirinya dari berbuat zina, akan tetapi tidak mampu memberi nafkah untuk isterinya dari harta yang halal.

Sedangkan Madzhab Hanafi juga menyatakan hal yang sama. Ia menjadi haram jika ia meyakini bahwa pernikahannya akan membawa pada perbuatan-perbuatan yang haram, misalnya menyakiti dan menzalimi orang lain. Karena sebenarnya agama menganjurkan dalam rangka menjaga kemaslahatan jiwa . Serta untuk keselamatan fungsi reproduksi (hifz al-nasl) serta mengharapkan pahala dari Tuhan.

“Maka apabila pernikahan itu justru akan membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang haram karena menyakiti orang misalnya, maka berarti dia telah melakukan perbuatan dosa. Sebab kemaslahatan yang ingin mereka capai justru berbalik menjadi kemadaratan (kerusakan)”.

Dari keterangan ini, tampak jelas bahwa persoalan paling krusial tentang  pernikahan anak atau di bawah umur dalam pandangan para ahli fiqh. Pertama adalah faktor ada tidaknya unsur kemaslahatan atau ada tidaknya kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya hubungan seksual yang tidak dibenarkan oleh agama.

Sebagaimana dalam kaidah pembentukan hukum Islam, tujuan utama pembentukan hukum Islam (maqashid al-syari’ah) adalah mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia dengan mendatangkan kesejahteraan dan menjauhkan bahaya dalam kehidupan mereka.

Argumentasi lainnya yakni jika kita melihat pada kaidah fikih maka akan ditemukan:

“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (dihaharamkan).”

“Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.”

Dalam hal ini, ketika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka dapat memilih salah satu kondisi yang tingkat bahayanya paling ringan.

إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما

Artinya:

“Apabila bertemu dua mafsadat maka yang lebih besar kemudharatannya harus diutamakan dengan mengorbankan yang lebih ringan kemudharatannya.”

Melihat dari konteks di atas dimana pernikahan anak ternyata merugikan perempuan, pendekatan yang lebih bijak adalah menunda pernikahan hingga anak mencapai usia dewasa, baik secara fisik maupun mental, untuk memastikan bahwa pernikahan tersebut membawa kebaikan dan menghindari kemudharatan, sesuai dengan prinsip kemaslahatan dalam Islam.

Laily Nur Zakiya, S.Ag, M.Pd, Ustadzah di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadzah Laily Nur Zakiya, S.Ag, M.Pd? Silakan klik disini