Hidup Nyaman Jika Menerapkan Konsep al-Jarh wa al-Ta’dil

Berbuat kesalahan sejatinya manusiawi, apalagi jika khilaf semata. Tetapi, ia bisa berakibat fatal, bahkan setelah bertahun-tahun kesalahan itu terjadi. Di dunia digital, kesalahan sekecil apa pun bukan sesuatu yang dapat dianggap remeh. Ia bisa digunakan di masa depan untuk menjatuhkan pelakunya. Jejak digital menyimpan apa yang pernah kita ucapkan, ketik, dan unggah, lalu menghidupkannya kembali pada waktu yang tidak kita duga.

Sebuah komentar emosional di masa lalu bisa menjadi bumerang hari ini. Sebuah kesalahan lama bisa dibesar-besarkan dan dijadikan alasan untuk menghapus seluruh kebaikan yang telah kita lakukan bertahun-tahun kemudian. Fenomena ini mengajarkan kita bahwa manusia zaman ini butuh berhati-hati dalam bertindak. 

Di sisi lain, mencari-cari kesalahan orang lain merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Ini dapat menjadi cara menjatuhkan orang lain. Namun, perlu diingat juga bahwa orang lain pun dapat menggali kesalahan yang pernah kita lakukan. 

Di sini kita dapat belajar relasi kehidupan bersama melalui salah satu warisan keilmuan Islam yang luar biasa: konsep al-jarḥ wa al-ta‘dīl. Sebuah konsep ilmiah yang tidak hanya menjaga kemurnian hadis Nabi Saw, tetapi juga menyimpan hikmah besar dalam menata kehidupan bersosial, terutama di tengah budaya saling menilai, menghakimi, dan menjatuhkan.

Sekilas tentang al-Jarh wa al-Ta‘dil

Dalam Ilmu Hadis, ada salah satu cabang ilmu yang terdiri dari dua hal, yaitu al-jarh wa al-ta’dil—suatu konsep yang sebenarnya tidak seimbang, tetapi teramat penting dalam menentukan otentisitas (keabsahan) sebuah hadis. 

Al-jarh secara harfiah berarti ‘luka’, yang maksudnya adalah penilaian buruk terhadap periwayat hadis karena adanya kesalahan yang pernah dilakukan, seperti berbohong, berbuat tidak adil, dan lainnya. Kesalahan-kesalahan ini tidak ‘dicari-cari’, tetapi sebatas apa yang pernah terlihat atau dilaporkan padanya. Karena itulah digunakan istilah al-jarh, berbeda dengan al-ta’dil secara porsi. 

Al-ta’dil berarti ‘mencari-cari’ hal baik dari periwayat hadis—sehingga ia dapat dinilai sebagai orang yang baik. Banyak ahli hadis yang berpendapat bahwa sifat dasar manusia itu adalah baik. Karenanya, hal-hal baik dari seseorang perlu dicari-cari. Sedangkan keburukannya cukup pada yang tampak, bukan sengaja dicari-cari. 

Adanya sangka baik di atas, yaitu pendapat bahwa dasarnya manusia itu baik, juga menjadi poin penting dalam penilaian seorang periwayat hadis. Ketika seorang ahli kritik hadis tidak menemukan data mengenai seorang periwayat hadis, baik atau cacatnya, ia bisa menyatakan bahwa periwayat tersebut dapat diterima hadisnya. 

Dalam keilmuan Islami, ulama hadis tidak menilai seseorang karena faktor pribadi, kebencian, atau kepentingan. Mereka benar-benar menjadikan penilaian itu sebagai amanah ilmiah, bukan pembunuhan karakter. Bahkan mereka sering menegaskan, “Ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama.

Di sinilah kita belajar bahwa menilai seseorang bukan urusan perasaan, tetapi urusan keadilan dan tanggung jawab.

Konsep al-Jarh wa al-Ta‘dil dalam Kehidupan Sosial

Di luar konteks ilmu hadis, konsep ini sesungguhnya bisa menjadi inspirasi dalam kehidupan bermasyarakat. Saat ini kita hidup di tengah budaya: mudah mengkritik, cepat menghakimi, lambat memaafkan, hingga suka membongkar kesalahan masa lalu orang lain demi menjatuhkannya.

Padahal, jika kita meneladani konsep al-jarḥ wa al-ta‘dīl, kita akan belajar beberapa hal penting:

Pertama, menilai bukan berarti menjatuhkan. Para ulama al-jarḥ wa al-ta‘dīl menilai seorang periwayat hadis bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk menjaga kemurnian ilmu. Maka dalam kehidupan sosial, ketika kita menilai seseorang, seharusnya tujuannya bukan untuk membunuh reputasi, tetapi untuk menjaga kebaikan bersama.

Kedua, keseimbangan antara kritik dan apresiasi. Dalam al-jarḥ wa al-ta‘dīl, bukan hanya keburukan yang dicatat, tetapi juga kebaikan, kejujuran, dan kelebihan seseorang. Ini mengajarkan kita agar adil: jangan hanya melihat sisi buruk, tapi juga akui sisi baik orang lain.

Ketiga, tidak semua orang berhak memberi “jarḥ”. Dalam ilmu hadis, tidak semua orang boleh menilai periwayat hadis. Harus orang yang ahli, objektif, dan dikenal adil. Maka dalam kehidupan sosial, tidak setiap komentar negatif pantas kita sebarkan atau percayai. Apalagi jika berasal dari orang yang tidak kompeten atau tidak dikenal integritasnya.

Larangan Mencari-Cari Kesalahan Orang Lain

Islam secara tegas melarang umatnya senang membongkar kesalahan orang lain dengan maksud buruk. Allah berfirman:

“…dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…” (QS. Al-Hujurat: 12)

Mencari-cari kesalahan (tajassus) bukan hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga melahirkan suasana penuh curiga, dendam, dan kebencian. Dalam dunia digital, bentuknya bisa berupa: menggali postingan lama seseorang, mengungkit masa lalu, dan menyebarkan kesalahan privat ke ranah publik.

Padahal Nabi Muhamad Saw. bersabda:

Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Inilah perbedaan mendasar antara jarh ilmiah dan ghibah atau fitnah. Al-jarh dilakukan dengan ilmu, adab, dan tujuan untuk menjaga kebenaran. Sedangkan mencari-cari kesalahan sering dilakukan dengan emosi, untuk menjatuhkan, dan demi kepuasan pribadi atau kelompok semata.

Hikmah dari Konsep al-Jarh wa al-Ta‘dil

Konsep al-jarḥ wa al-ta‘dīl bukan hanya milik para ulama hadis. Ia adalah pelajaran hidup bagi siapa saja yang ingin membangun masyarakat yang lebih sehat. Ada beberapa hikmah yang bisa kita petik dari konsep ini.

Pertama, belajar adil dalam menilai orang lain. Jangan hanya melihat satu kesalahan untuk menghapus seribu kebaikan. 

Kedua, membedakan antara kritik dan penghinaan. Kritik itu membangun, penghinaan itu menjatuhkan dan menghancurkan.

Ketiga, menyadari bahwa setiap manusia memiliki potensi dan peluang untuk berubah. Periwayat yang dulu lemah bisa menjadi lebih baik. Begitu pula manusia hari ini. Masa lalu bukan selalu penentu masa depan seseorang.

Keempat, mendorong kita lebih sibuk memperbaiki diri daripada mengurusi aib orang lain. Sebab, dalam al-jarh wa al-ta‘dil, para ulama bersikap keras pada diri sendiri sebelum menilai orang lain. Mereka juga lebih fokus dalam mencari kebaikan daripada kesalahan orang lain.

Jika konsep ini kita bawa ke dunia pendidikan, dakwah, media sosial, bahkan politik, maka iklim sosial kita akan lebih sejuk, lebih beradab, dan lebih manusiawi. Karena pada akhirnya, hidup memang terasa lebih nyaman ketika kita belajar menilai dengan ilmu, bersikap dengan adab, dan memandang manusia dengan rahmat.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini