Ghadh al-Bashar Bukan Sekadar Menundukkan Pandangan Fisik

Ghadh al-Bashar merupakan term yang sering didengar oleh kalangan muslim di Indonesia. Secara sederhana, ia sering diterjemahkan dengan istilah “menundukkan pandangan”, yaitu menjauhkan pandangan dari hal-hal yang haram, seperti perzinahan, perjudian, dan lain sebagainya. 

Menjaga Pandangan Bukan Hanya untuk Laki-laki

Perintah menjaga pandangan sering kali lebih ditekankan kepada laki-laki. Hal ini berdasarkan pada anggapan bahwa banyak laki-laki  memandang perempuan dengan hasrat seksual. Apalagi jika narasi dibumbui dengan menyertakan sabda Nabi yang berbunyi:

النَّظَرُ إِلَى الْمَرْأَةِ سَهْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ مَسْمُومٌ، فَمَنْ تَرَكَهُ خَوْفَ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ, أَثَابَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِيمَانًا يَجِدُ حَلاوَتَهُ فِي قَلْبِهِ 

Memandang kepada perempuan itu laksana panah beracun dari berbagai panah iblis yang beracun. Maka, siapa pun yang meninggalkannya karena rasa takut kepada Allah, Dia akan mengganjarnya dengan iman yang rasa manisnya dirasakannya dalam hati.” (HR. Ibn al-Jauzi dalam Dzamm al-Hawa).

Padahal, Ghadh al-Bashar berlaku bagi semua orang, baik laki-laki mau pun perempuan. Dalam al-Qur’an surah al-Nur ayat 30 Allah memerintahkan laki-laki agar menundukkan pandangan serta menjaga kemaluannya. Dan pada ayat selanjutnya perintah yang sama ditujukan kepada para perempuan. Artinya, terlepas dari gendernya, setiap orang yang beriman (mukmin) diwajibkan untuk menjaga pandangannya.

Ghadh al-Bashar sering kali dikaitkan dengan pandangan terhadap lawan jenis, baik yang terbuka auratnya mau pun tidak. Sering juga dijelaskan bahwa ketika seorang laki-laki melihat perempuan di ruang publik, sebaiknya ia segera mengalihkan pandangannya. 

Hal ini memang diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda, 

عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ، فَقَالَ: ” اصْرِفْ بَصَرَكَ “

Jarir bin Abdullah berkata, ‘Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai memandang wanita yang tidak dilakukan dengan sengaja (kebetulan)’, maka beliau menjawab, “Alihkan pandanganmu.”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, al-Nasai, dan al-Tirmidzi dengan redaksi yang sama, yaitu ishrif basharaka. Sedangkan beberapa ulama lainnya, kata Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (jil. 6, hlm. 42), menggunakan redaksi uthruq basharaka dalam menyebutkan jawaban Nabi Muhammad terhadap pertanyaan Jabir di atas. 

Redaksi uthruq basharaka bermakna “lihatkan ke bawah (tanah atau jalan)”. Redaksi ini memiliki makna yang lebih sempit dibandingkan redaksi lainnya. Sebab, al-sharf (mengalihkan) dapat dilakukan dengan mengalihkan pandangan ke samping, ke bawah, atau pada hal lainnya. 

Hadis ini, ketika dikaitkan dengan perintah menundukkan pandangan dalam surah al-Nur ayat 30-31, seakan memberikan makna bahwa ghadh al-bashar hanya berkaitan dengan menundukkan pandangan ketika melihat lawan jenis yang bukan mahram. Maka, gambaran pertama yang muncul ketika mendengar ghadh al-bashar pun adalah seseorang yang sedang berjalan di area publik sembari melihat ke arah bawah guna menjaga pandangannya dari lawan jenis. 

Memandang Manusia Sebagai Manusia

Bagi Faqihuddin Abdul Kodir (kang Faqih), perintah ghadh al-bashar bukan sebatas menundukkan pandangan mata fisik terhadap hal-hal yang haram, apalagi hanya pada sesuatu yang akan menimbulkan hasrat seksual. 

Dengan menggunakan prinsip akhlak berelasi antara laki-laki dan perempuan, kang Faqih memaknai ghadh al-bashar sebagai kontrol atas cara pandang seseorang terhadap orang lain, suatu cara pandang yang tidak destruktif. Menundukkan pandangan agar tidak melihat lawan jenis yang dapat menimbulkan hasrat seksual hanyalah satu di antara cara pandang ini. 

Bagi kang Faqih, jika lawan jenis hanya dipandang sebagai objek seksual, kendati seseorang telah menundukkan pandangannya, ia bisa saja masih berupaya untuk memuaskan hasratnya dengan cara lain. “Di sinilah,” tulis kang Faqih, “mengapa perempuan yang sudah menutup aurat sekalipun masih menjadi korban kekerasan seksual dan perkosaan.” (Fiqh al-Usrah, 2025: 57).

Memandang sesama jenis pun dapat dilarang jika pandangannya membawa pada hal negatif. Misalnya, seorang pemilik perusahaan melihat tukang bersih jalanan dengan pandangan yang merendahkan, merasa diri lebih terhormat, lebih kaya, dan lebih berguna. Pandangan seperti ini, meskipun ditujukan kepada sesama jenis, merupakan cara pandang yang dilarang oleh agama. 

Sebaliknya, ghadh al-bashar dapat dimaknai secara konstruktif, yaitu dengan memandang orang lain sebagai manusia yang utuh, manusia yang memiliki kedudukan sama di mata Tuhan juga negara. Sudah maklum oleh umat muslim bahwa perbedaan antar manusia di mata Tuhan terletak pada tingkat ketakwaannya, bukan pada harta dan jabatan. 

Mereka yang melihat orang lain memiliki kedudukan yang lebih rendah serta kekuasaan yang lebih lemah dapat bertindak sebagai pelindung. Yang lebih kuat memiliki tanggung jawab untuk menolong yang lemah. 

Nabi sendiri menjelaskan betapa besar ganjaran bagi mereka yang menolong orang-orang lemah, seperti janda dan orang miskin. Dalam hadis riwayat al-Bukhari disebutkan bahwa mereka sama seperti orang yang sedang berjihad di jalan Allah, atau seperti orang yang salat sepanjang malam dan berpuasa sepanjang siang.

Maka dari itu, menjaga pandangan bukan sebatas menundukkan pandangan terhadap hal-hal yang haram, atau menjaga pandangan dari memandang lawan jenis yang dapat menimbulkan hasrat seksual. Menjaga pandangan berarti menjaga cara pandang agar tidak menimbulkan hal-hal yang negatif, seperti pandangan merendahkan, merasa diri lebih baik, dan lain sebagainya.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini