Termasuk pengetahuan umum adalah bahwa kiblat merupakan salah satu aspek paling penting dalam agama Islam. Secara bahasa, kiblat dapat dimaknai sebagai arah. Dalam keseharian, tak jarang orang menggunakan kata kiblat untuk suatu arah yang bermakna panutan. Misalnya, “Perancis menjadi kiblat fashion dunia”.
Secara istilah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kiblat dimaknai sebagai arah ke Ka’bah ketika waktu salat. Hal ini memang berkaitan bahwa Ka’bah itu sendiri menjadi arah menghadap bagi orang-orang yang melaksanakan salat. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa Ka’bah bukan satu-satunya arah yang pernah menjadi kiblat salatnya umat Islam.
Sejarah Pemindahan Kiblat
Sejarah mencatat bahwa sebelum Ka’bah menjadi kiblat, umat muslim melaksanakan salat menghadap Masjid al-Aqsha (Bait al-Maqdis) yang berada di Palestina. Menurut Ibnu Katsir, yang mengutip pendapat al-Barra`, Rasulullah saw bersama umat muslim salat menghadap Bait al-Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan lamanya.
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Hasani dalam kitabnya Maadzaa fii Sya’baan? menyebutkan bahwa pemindahan arah kiblat adalah hal yang sangat ditunggu oleh Rasulullah saw. Ibnu Katsir, mengutip sebuah hadis dari Ibnu Abbas, menerangkan bahwa sebelum Ka’bah menjadi kiblat, setiap hari setelah melaksanakan salat, Rasulullah saw selalu menghadapkan wajahnya ke langit, berharap agar arah kiblat segera dipindahkan.
Pada bulan Rajab tahun kedua hijriah, Rasulullah mengimami salat Zuhur di masjid Bani Salamah di Quba. Setelah dua rakaat berjalan, Jibril datang menyampaikan wahyu agar Rasulullah berpaling menghadap Ka’bah sebagai kiblat. Rasulullah langsung berpaling tanpa memutus salatnya, sehingga zuhur waktu itu dilaksanakan menghadap dua arah. Karenanya, masjid Bani Salamah kemudian dikenal dengan nama Masjid Qiblatain (Masjid Dua Kiblat).
Setelah salat zuhur tersebut, kemudian turun surah al-Baqarah ayat 144 yang berbunyi:
“Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Di mana pun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pemindahan kiblat ke Masjidilharam) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.”
Ayat di atas menjadi jawaban bagi pengharapan Nabi Muhammad saw yang lebih menyenangi Ka’bah sebagai kiblat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Ka’bah adalah kiblat Nabi Ibrahim, seorang nabi yang dikenal sebagai Bapak Tauhid. Sedangkan Bait Maqdis menjadi kiblat sebagai penghormatan bagi penduduk Madinah di awal hijrahnya Nabi yang pada saat itu banyak penganut Yahudi.
Kiblat dalam Hukum Fikih
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ke-115 menjelaskan bahwa hukum pertama yang mengalami naskh (penghapusan) di dalam al-Qur’an adalah kiblat. Pada mulanya, salat dapat dilaksanakan menghadap mana saja, berdasarkan surah al-Baqarah ayat 115 yang artinya, “Dan milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”
Sehingga, pada awal turunnya perintah salat, Nabi Muhammad menghadap Bait al-Maqdis sebagai kiblat. Hal ini disebabkan pada masa itu, Nabi baru mendiami Madinah sehingga posisi beliau belum terlalu kuat. Agar mendapatkan penerimaan yang lebih luas dari masyarakat Madinah yang banyak dihuni orang Yahudi, maka beliau menjadikan Bait al-Maqdis sebagai kiblat. Hingga turunlah ayat ke-144 surah al-Baqarah yang berisi berita perpindahan kiblat.
Dalam diskursus hukum fikih, kiblat menjadi salah satu syarat sahnya salat. Orang yang mampu (tidak sakit, dalam perjalanan, takut bahaya, dan lain sebagainya) diwajibkan menghadap kiblat ketika melaksanakan salat. Hal ini didasarkan pada ayat 144 dari surah al-Baqarah.
Berkaitan dengan arah kiblat, hal yang biasa diperbincangkan secara fikih adalah apakah menghadap kiblat harus benar-benar mengarah pada Ka’bah (‘ain al-qiblah) ataukah cukup dengan menyakini sedang menghadap kiblat (ijtihaad)?
Terhadap orang-orang yang berada di dekat Ka’bah, khususnya penduduk Mekah, ulama dari empat mazhab sepakat bahwa menghadap kiblat dalam salat harus secara ‘aini, yaitu menghadap bangunan Ka’bah secara yakin. Sedangkan bagi orang-orang yang jauh dari Ka’bah, ulama berbeda pendapat.
Dalam kitab Maraaqi al-‘Ubuudiyyah (hal. 83), Syekh Nawawi al-Bantani menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah lebih ringan berkaitan dengan arah kiblat. Baginya, menghadap kiblat cukuplah dengan meyakini arah kiblat. Sedangkan bagi Imam Malik, baik bagi orang yang dekat dengan Ka’bah atau pun jauh, cukuplah dengan mengarah ke kiblat, bukan pada fisik Ka’bah.
Imam Ahmad berbeda dengan keduanya. Menurutnya, menghadap kiblat harus secara ‘aini (menghadap fisik Ka’bah) bagi orang yang dekat dengannya. Sedangkan bagi yang jauh, cukuplah dengan meyakini arahnya. Sedangkan bagi Imam al-Syafii, menghadap kiblat harus pada fisiknya, bukan semata meyakini arahnya. Hal ini berlaku bagi semua orang, dekat atau pun jauh. Pendapat Imam al-Syafii ini juga dipegang oleh Ibnu al-Qashshar dari mazhab Maliki dan Abu al-Khaththab dari mazhab Hanbali.
Hikmah Kesatuan Kiblat
Ka’bah sebagai salah satu bangunan paling bersejarah dalam tradisi agama yang lurus sudah sepantasnya menjadi kiblat bagi kaum muslim. Nabi Muhammad sendiri lebih menyenangi Ka’bah sebagai kiblat dibandingkan Bait al-Maqdis, kendati bangunan tersebut juga memiliki nilai sejarah agung dalam Islam. Sebab, Ka’bah menjadi tempat yang sangat bersejarah bagi Nabi Ibrahim, seorang Bapak Tauhid dan nabi yang secara biologis bersambung darahnya dengan Nabi Muhammad.
Perpindahan arah kiblat dari Bait al-Maqdis ke Ka’bah, selain menjadi jawaban Allah terhadap harapan Nabi Muhammad, juga sebagai ujian bagi keimanan umat muslim. Ketika terjadi perpindahan kiblat, orang-orang yang kurang akalnya (sufahaa`), yaitu kaum munafik dan para pendeta Yahudi, mempertanyakan hal tersebut (QS. Al-Baqarah[2]: 142). Hal ini menjadi ujian bagi orang-orang beriman, apakah mereka tetap mengikuti Nabi Muhammad atau justru berpaling darinya.
Penghapusan hukum dan pemindahan arah kiblat merupakan hal yang sangat bernilai. Kendati ke mana pun kita menghadap, di sana ada Tuhan, kesatuan arah kiblat tetap menjadi hal yang penting dan bernilai. Kiblat menjadi simbol kesatuan umat muslim di seluruh dunia. Muslim di mana pun menghadap arah yang sama ketika melaksanakan salat. Dengan demikian, muslim dapat lebih merasa bahwa mereka adalah satu umat yang sama, walau berbeda kebangsaan, bahasa, etnis, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini