Hijrahnya kaum muhajirin dulu bukan sekadar perpindahan geografis; ia adalah perpindahan total. Mereka datang ke Madinah dalam keadaan kehilangan hampir semua hal yang mereka miliki. Harta mereka tidak “liquid” seperti hari ini: tidak bisa disimpan dalam rekening, e-wallet, atau aset digital. Apa yang mereka tinggalkan di Makkah benar-benar hilang, dirampas, atau tidak mungkin diakses kembali.
Di Madinah, kondisi mereka sangat genting. Mereka membutuhkan uluran tangan, bukan hanya sambutan hangat. Nabi Muhammad SAW, menyadari masa kritis ini, kemudian menetapkan beberapa kebijakan strategis, salah satunya mu’ākhāh, yaitu mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar.
Namun para ulama mengingatkan: mu’ākhāh bukanlah awal lahirnya solidaritas Anshar. Nabi hanya mengafirmasi sesuatu yang memang sudah hidup dalam budaya mereka. Orang-orang Anshar telah lebih dulu menunjukkan altruisme yang luar biasa: semangat berbagi, mengutamakan orang lain sekalipun diri mereka sendiri kekurangan.
Allah mengabadikan kemuliaan itu dalam kalam-Nya:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
Mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri berada dalam kesulitan.
(QS. al-Hasyr: 9)
Ayat ini bukan pujian biasa. Ia adalah testimoni Tuhan atas sebuah generositas yang sulit dicarikan tandingannya.
Hanya dalam Ibadah Kita Tidak Boleh Mengutamakan Orang Lain
Menariknya, para ulama membedakan antara altruisme dalam muamalah dan dalam ibadah. Seorang ahli hikmah, Ibnu ‘Aṭā’illah al-Sakandarī, berkata:
اَلْإِيْثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ، وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ
Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah itu makruh, namun dalam urusan selain ibadah itu dicintai
Karena ibadah itu hak Allah, bukan ruang untuk basa-basi sosial. Dalam contoh sederhana, kita tidak boleh mengutamakan orang lain untuk menjadi imam sholat, padahal kita yang lebih layak. Tidak ideal jika kita mengalah untuk berdiri di shaf dua, sedangkan shaf satu masih kosong.
Tapi di luar ibadah: dalam urusan sosial, muamalah, dan kemanusiaan—mengutamakan orang lain justru merupakan amalan mulia yang disukai Allah. Itulah altruisme: keberpihakan kepada sesama tanpa kehilangan ketegasan dalam urusan ritual.
Altruisme untuk Saudara-Saudara Kita di Sumatera
Sebagian dari kita hari ini mungkin sedang tidak berada dalam kondisi finansial terbaik. Ada yang tertatih-tatih dengan cicilan, kebutuhan rumah tangga, biaya kesehatan, atau sekadar menjaga keseimbangan hidup agar tetap bertahan.
Namun ketika bencana menimpa saudara-saudara kita—seperti yang dialami oleh banyak keluarga di Sumatera—agama mengajak kita mengingat kembali teladan sahabat Anshar. Empati tidak lahir dari kelapangan harta, tetapi kelapangan hati.
Rasulullah SAW bersabda:
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan empatinya ibarat satu tubuh; jika salah satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh merasakan panas dan demam.” (HR. Muslim)
Inilah standar moral ukhuwah: kita diharapkan merasakan nyeri atas penderitaan yang bahkan tidak kita alami sendiri. Mungkin kita tidak bisa membantu banyak. Mungkin yang kita beri hanya sedikit. Tetapi dalam logika iman, yang Allah lihat bukan besar-kecilnya angka, melainkan besar-kecilnya ketulusan.
Ketika musibah terjadi, tidak semua dari kita bisa hadir di lokasi bencana. Tidak semua dari kita punya harta yang cukup untuk berdonasi besar. Tidak semua dari kita bisa menjadi relawan di lapangan. Namun setiap dari kita bisa meneladani satu hal: kepekaan batin.
Mata boleh jadi tidak menangis, tetapi hati kita harus berdarah.
Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini